Sunday, 8 January 2017

MUSEUM PETA BOGOR

Monumen dan Museum PETA Bogor menurut saya adalah salah satu museum yang terbaik di kota hujan ini. Museum ini menempati dua buah ruangan di sebuah gedung dan halaman di dalam Kompleks Pusdikzi TNI Angkatan Darat, berjarak sekitar 500 m arah dari Istana Bogor.
Monumen dan Museum PETA Bogor ada di Jl Jenderal Sudirman, dengan patung Sudirman dan Supriadi di halam depan. Pembela Tanah Air (Kyodo Bo-ei Giyugun), adalah tentara pribumi yang dibentuk Jepang pada 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44.
Maklumat itu diumumkan Panglima Tentara Keenambelas, Letnan Jendral Kumakichi Harada, sebagai Tentara Sukarela. Pelatihan pasukan dipusatkan di kompleks militer Bogor bernama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai, yang kini ditempati Monumen dan Museum PETA Bogor. Pembangunan museum dimulai pada 14 November 1993, dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah, dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 18 Desember 1995.
Patung Sudancho Supriadi di halaman depan Monumen dan Museum PETA Bogor, yang diresmikan pada 9 Agustus 2010, bertepatan dengan diserahkannya Monumen dan Museum PETA oleh Yayasan PETA Bogor kepada pemerintah, dan pengelolaan selanjutnya diserahkan kepada TNI Angkatan Darat.
Turun dari kendaraan saya lalu melangkahkan kaki memasuki gerbang masuk yang merupakan lorong panjang dimana pintu masuk ke dalam dua ruangan pamer yang ada di tengah kiri dan kanan lorong. Pada permukaan dinding kiri dan kanan lorong terdapat relief yang menggambarkan kegiatan dan tokoh-tokoh PETA.
Ada relief mantan PETA seperi Supriadi, Sudirman, Soeharto, Umar Wirahadikusumah, Poniman, Drg. Moestopo, Mohamad, Achmad Yani dan Sarwo Edhi Wibowo. Dinding sebelahnya ada relief perekrutan dan pendidikan tentara PETA, serta tokoh Daidan (Batalion) PETA Blitar, dan Daidan PETA Magelang. Saya masuk ke pintu sebelah kanan, bertemu petugas dan meminta ijin melihat koleksi museum serta memotretnya
Diorama di Monumen dan Museum PETA ini menggambarkan saat tokoh-tokoh pimpinan BKR / TKR Jawa Tengah, yaitu Soedirman, Jatikoesoemo, Soeharto, Sarbini, Ahmad Yani, Isdiman, Soetarto, Holan Iskandar, sedang berkumpul mengatur siasat di suatu tempat antara Magelang dan Ambarawa untuk memukul mundur pasukan Sekutu dan Belanda dari Ambarawa.
Pada 15 Desember 1945, dengan koordinasi Panglima Divisi V Banyumas Kolonel Soedriman, pasukan TKR berhasil menduduki Ambarawa dan mengusir tentara Sekutu dan Belanda. Peristiwa ini diperingati sebagai Hari Infanteri TNI – AD. Ada diorama penyerbuan Osha Butai Kota Baru oleh BKR Yogyakarta pada Oktober 1945, dipimpin mantan Cudanco PETA Soeharto untuk merebut persenjataan dan perlengkapan militer yang masih dikuasi tentara Jepang.
Selanjutnya diorama saat pimpinan BKR Malang, mantan Cudanco PETA Mutakat Hurip, atas perintah Daidanco Imam Sujai dan Kepala Staf Iskandar Sulaiman, sedang mengatur dan mengkonsolidasikan fasilitas kedirgantaraan, yang meliputi hanggar, sejumlah pesawat terbang dan perlengkapan yang direbut lewat pertempuran dan perundingan dengan pihak Jepang di pangkalan udara Bugis Malang.
Dalam pertemuan itu hadir mantan Daidanco Besoeki Soekoco, yang diangkat sebagai Komandan Lapangan didampingi mantan Cudanco Soelam Syamsoen dan mantan Bundanco Soeprantio (pernah menjadi Panglima Pasukan Gerak Cepat, Kopasgat, berpangkat Marsekal Muda). Di sebuah dinding terdapat koleksi foto para mantan PETA dan sebuah samurai tua. Ada pula koleksi Monumen dan Museum PETA Bogor berupa seragam dan perlengkapan persenjataan Gyuhei, atau Prajurit PETA.
Diorama lainnya berkaitan Peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945, memperlihatkan suasana di luar asrama pada waktu Bung Karno dan tokoh-tokoh pemuda tengah berunding mengenai waktu dan tatacara proklamasi. Saat itu Camat Soejono Hadipranoto mengibarkan bendera merah putih menggantikan bendera Jepang, dikawal prajurit PETA dan disaksikan masyarakat Rengasdengklok
Diorama Monumen dan Museum PETA yang memperlihatkan pertemuan Ir. Soekarno, Gatot Mangkupradja, Ki Ageng Suryomentaram, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansyur dan Dr. Moh. Hatta. Ide awal pembentukan PETA konon terinspirasi dari kedisiplinan, militansi dan kemampuan tempur tentara Jepang saat Ir. Soekarno berkunjung ke Akademi Militer Jepang.
Ada yang berpendapat pembentukan PETA berawal dari surat Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada September 1943 yang diantaranya berisi permohonan agar bangsa Indonesia boleh membantu Jepang di medan perang. Pendapat lain menyebut pada masa pendudukan Jepang, Ki Ageng Suryomentaram berusaha keras membentuk satuan tentara. Pendapatnya itu dikemukakannya dalam pertemuan dengan Bung Karno, Bung Hatta, Kiai Haji Mas Mansoer, dan Ki Hadjar Dewantara.
Ki Ageng juga membuat tulisan “Jimat Perang” yang merupakan dasar-dasar ketentaraan, yaitu pandai berperang dan berani mati, yang diceramahkannya di berbagai kesempatan. Ketika bertemu Bung Karno, diberikannya Jimat Perang ini, dan kemudian dipopulerkan Bung Karno dalam pidato-pidato radionya untuk membangkitkan semangat berperang dan berPertemuan di depan gedung di Jalan Merdeka Selatan yang kemudian menjadi Markas PETA berlangsung. Pada 23 Agustus 1945 anggota pasukan PETA dan Heiho yang telah dibubarkan berkumpul untuk mendengarkan pengumuman Presiden Soekarno mengenai keputusan pemerintah. Pada 22 Agustus pemerintah telah memutuskan membentuk Badan Keamanan Rakyat atau BKR.
Diorama di Monumen dan Museum PETA lainnya memperlihatkan upacara penyerahan samurai oleh Syodanco Muradi, pimpinan lapangan pemberontakan PETA Blitar, kepada Katagiri Butaico. Janji memenuhi tuntutan PETA ternyata hanya tipu muslihat Jepang. Syodanco Muradi bersama pasukannya ditangkap dan disiksa oleh KENPEITAI, lalu dibunuh di Ancol pada 16 Mei 1945.
Pada 14 Februari 1945, pasukan Peta di Blitar di bawah pimpinan Sudancho Supriadi melakukan pemberontakan yang dikenal dengan nama “Pemberontakan Peta Blitar”. Pemberontakan berhasil dipadamkan oleh pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan Peta sendiri maupun Heiho. Sudancho Supriadi, hilang dalam peristiwa ini.
Ada diorama yang menggambarkan suasana saat Bung Karno sedang mengucapkan pidato pada rapat raksasa dihadapan massa rakyat yang memadati lapangan Ikada Jakarta. Dalam rapat raksasa itu, para pemimpin republik dikawal diantaranya oleh BKR Jakarta Raya pimpinan mantan Komandan Peleton PETA M. Moekmin.
Saat keluar ruangan museum dan berjalan ke arah belakang, terlihat Patung Panglima Besar Sudirman saat sebagai perwira PETA di halaman terbuka di ujung lorong tengah gedung Monumen dan Museum PETA, diapit dua meriam lapangan. Pada dinding di belakang patung tercantum nama-nama perwira tentara PETA dari seluruh Jawa, Madura, Bali, dan Sumatera.
Monumen dan Museum PETA merupakan sebuah museum yang baik untuk dikunjungi, agar menyegarkan ingatan mengenai peran dan pentingnya pendidikan kemiliteran dalam mendukung perjuangan politik menegakkan kemerdekaan RI. Aksesnya dari Terminal Baranang Siang atau dari Stasiun naik Angkot 03, turun di depan Sekolah Regina Pacis.
Galeri (28 foto): 1. Supriadi s/d 28. Tengara Museum.

==============   AYOOOO   JELAJAH  INDONESIA  =========











No comments:

Post a Comment