Wednesday, 18 January 2017

MASJID AGUNG BANTEN LAMA

BERDIRINYA Masjid Agung Banten tidak lepas dari tradisi masa lalu, di mana dalam sebuah kota Islam terdapat minimal 4 komponen. Pertama, ada istana sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja-raja. Kedua, Masjid Agung sebagai pusat peribadatan. Ketiga, ada alun-alun sebagai pusat kegiatan dan informasi. Keempat, ada pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Keempat komponen ini, jejaknya masih terdapat di Desa Banten Lama Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang. Tapi yang masih kokoh berdiri dan berfungsi hingga saat ini hanya Masjid Agung.
Masjid Agung Banten, sebagaimana masjid tua dan bersejarah lainnya, selalu diramaikan para peziarah yang bisa mencapai ribuan orang dari berbagai daerah di Jawa umumnya. Sering kali jumlah mereka mencapai puncaknya pada bulan Syawal, Haji, Maulud, Rajab dan Ruwah. Sementara setiap hari Kamis, Jumat dan Minggu juga menjadi hari pilihan bagi para peziarah untuk mengunjungi Masjid Banten. Ada juga waktu yang paling ramai yaitu malam Jum’at ketika malam 14 bulan purnama. “Mereka percaya malam Jumat tanggal 14 bulan purnama adalah waktu di mana para auliya’ berkumpul dan bermusyawarah sehingga dikeramatkan, dan bila berziarah pada tanggal itu doanya mustajabah. Meski faktanya, tidak semua orang berdoa dan beriktikaf di masjid, ada juga yang main-main,” kata M. Al Hatta Kurdie, Sie Pendidikan dan Informasi Kenadziran Masjid Agung Banten Lama.
Bangunan masjid yang terletak sekira 10 km sebelah utara Kota Serang ini merupakan peninggalan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), putera pertama Sunan Gunung Jati. Konon, pembangunan Masjid Agung Banten bermula dari instruksi Sunan Gunung Jati kepada Hasanuddin untuk mencari sebidang tanah yang masih suci untuk pembangunan Kerajaan Banten. Hasanuddin lalu shalat dan bermunajat kepada Allah agar diberi petunjuk tentang tanah yang dimaksud ayahandanya. Setelah berdo’a, spontanitas air laut yang berada di sekitarnya menyibak menjadi daratan. Selanjutnya, Hasanuddin mulai mendirikan Kerajaan Banten beserta komponen-komponen lainnya, seperti alun-alun, pasar dan masjid agung.
Dalam pembangunan masjid agung, salah satu arsiteknya adalah Raden Sepat. “Raden Sepat mulanya dari Majapahit, kemudian membangun Masjid Demak, Cirebon dan Masjid Banten Lama ini. Jadi bukan ketaksengajaan bila antara masjid Demak, Cirebon dan Banten Lama secara arsitektur ada mata rantainya. Misalkan dari sisi atapnya, Masjid Agung Demak dan Cirebon itu memiliki atap tiga susun yang bermakna Iman, Islam dan Ikhsan. Ini hampir sama, hanya saja di sini lebih banyak yaitu lima susun, bermakna rukun islam,” kata Hatta Kurdie.
Selain Raden Sepat, beberapa kalangan menyebut Cek Ban Cut sebagai arsitek lainnya. Pendapat ini berangkat dari analisis pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom Pagoda China. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang bertemu pada satu titik. Peletakan seperti itu memperlihatkan kesan seakan-akan atap dalam posisi kritis dan mudah goyah, namun hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri.
Dua tumpukan atap paling atas itu tampak lebih berfungsi sebagai mahkota dibanding sebagai atap penutup ruang bagian dalam bangunan. Tak heran jika bentuk dan ekspresi seperti itu sebetulnya dapat dibaca dalam dua penafsiran: masjid beratap tumpuk lima atau masjid beratap tumpuk tiga dengan ditambah dua mahkota di atasnya sebagai elemen estetik.
Sejauh ini belum ada arsitektur masjid yang serupa dengan Masjid Agung Banten. Hanya lukisan Masjid Jepara sekira abad ke-16 yang dibuat Wouter Schouten dalam Reistogt Naar en Door Oostindien dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 1676 serta dicetak ulang tahun 1780 memperlihatkan masjid beratap tumpuk lima. Masjid yang lukisannya pernah dipublikasikan Francois Valentijn dalam Oude en nieuw Oost-Indien itu memperlihatkan idiom pagoda Cina, baik dari bentuk, ekspresi, hingga ukirannya.
ELEMEN menarik lainnya adalah menara di sebelah timur yang besar dan monumental serta tergolong unik karena belum pernah terdapat bentuk menara seperti itu di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara. Karena menara bukanlah tradisi yang melengkapi masjid di Jawa pada masa awal, maka Masjid Agung Banten termasuk di antara masjid yang mula-mula menggunakan unsur menara di Jawa.
Menara berkonstruksi batu bata setinggi kurang lebih 24 meter ini, konon dulunya lebih berfungsi sebagai menara pandang ke lepas pantai karena bentuknya mirip mercusuar daripada sebagai tempat mengumandangkan azan. Dan semua berita Belanda tentang Banten hampir selalu menyebutkan menara tersebut, membuktikan menara itu selalu menarik perhatian pengunjung Kota Banten masa lampau.
Catatan Dirk van Lier di tahun 1659 maupun Wouter Schouten yang datang pada tahun 1661 menyebut, menara masih digunakan sebagai tempat penyimpanan senjata/amunisi orang Banten. Kemudian baru antara lain tulisan Stavorinus yang menulis tentang Banten tahun 1769 menyebut menara sebagai tempat memanggil orang untuk bersembahyang.
Berita itu menunjukkan pula menara telah dibangun tidak berselang lama dengan pembangunan masjid. Dari hasil penelusuran Dr KC Crucq, yang pernah dimuat dalam karangannya berjudul Aanteekeningen Over de Manara te Banten (Beberapa Catatan tentang Menara di Banten) yang dipublikasikan dalam Tidscrift Voor de Indische Taal, Land and Volkenkunde van Nederlandsch Indie, dinyatakan, menara dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanudin ketika putranya Maulana Yusuf sudah dewasa dan menikah.
Seperti dikatakan Pijper (1947:280), menara berbentuk segi delapan itu mengingatkan pada bentuk mercusuar, khususnya mercu Belanda. Saat ini ada bukti peninggalan mercusuar buatan Belanda di Anyer sebelah barat Serang dari abad ke-19, yakni bangunan mercusuar yang dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan Menara Masjid Agung Banten. Bentuk tersebut lazim ditemukan di Negeri Belanda, seperti segi delapan, pintu lengkung bagian atas, konstruksi tangga melingkar seperti spiral, dan kepalanya memiliki dua tingkat. Dari sini, banyak pendapat yang menyimpulkan bahwa pembangunan menara segi delapan dan beberapa tiang penyanggah atap masjid yang juga bersegi delapan dipengaruhi arsitektur Belanda.
Tapi demikian, Hatta Kurdie berpendapat lain. “Masjid ini dibangun jauh sebelum Belanda masuk ke Indonesia. Belanda masuk Banten itu kan tanggal 22 Juni 1596. Sementara masjid ini dibangun tahun 1552. Ada juga pendapat lain, bahwa ini pengaruh dari Budha yang memiliki delapan dewa penguasa delapan penjuru mata angin. Tapi saya lebih sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa segi delapan pada menara dan ke 24 tiang penyangga atap masjid itu merupakan ide cerdas dari Raden Sepat. Delapan itu merupakan hasil pembagian dari 24 dibagi 3. Ke 24 tiang itu simbol waktu, 24 jam. Sementara 3 adalah simbol dari ibadah, ma’isyah dan istirohah. Jadi pesan yang ingin disampaikan, agar umat islam bisa memanfaatkan waktu seadil-adilnya untuk ketiga hal tersebut yang masing-masing memiliki alokasi waktu sebanyak 8 jam,” jelasnya.
Sementara itu, di sisi selatan masjid terdapat bangunan bertingkat bergaya rumah Belanda kontemporer yang disebut tiyamah (paviliun). Bangunan yang dirancang arsitek Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel di abad ke-18 itu dulunya menjadi tempat pertemuan penting. Saat ini, bangunan yang berdenah empat persegi panjang, dua tingkat dan masing-masing memiliki tiga buah ruang besar tersebut difungsikan sebagai museum benda peninggalan, khususnya alat perang. Langgam Eropa sangat jelas pada bangunan itu, khususnya pada jendela besar di tingkat atas. Jendela itu dimaksudkan memasukkan sebanyak mungkin cahaya dan udara.
SEBENARNYA masih banyak elemen unik lainnya yang secara singkat dapat disebutkan, seperti adanya umpak dari batu andesit berbentuk labu berukuran besar dan beragam pada setiap dasar tiang masjid. Yang berukuran paling besar dengan garis labu yang paling banyak adalah umpak pada empat tiang saka guru di tengah-tengah ruang shalat. Ukuran umpak besar ini tidak akan kita temui di sepanjang Pulau Jawa, kecuali di bekas reruntuhan salah satu masjid Kasultanan Mataram di Plered, Yogyakarta.
Menurut Hatta Kurdie, labu tersebut merupakan simbol dari pertanian. Karena Banten Lama terkenal makmur, gemah rimpah loh jinawi. Bahkan pada masa kepemimpinan Maulana Yusuf , Banten terkenal dengan persawahannya yang luas hingga mencapai batas sungai Citarum. Dan keberadaan Danau Tasikardi merupakan bukti lain yang menguatkan pendapat ini.
Selain itu, terdapat mimbar yang besar dan antik penuh hiasan dan warna. Beberapa kalangan mengatakan, tempat khotbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang pada tanggal 23 Syawal 1323 Hijriyah (1903 M) sebagaimana tertulis dalam huruf Arab gundul pada penampil lengkung bagian atas muka mimbar. Sementara Hatta Kurdie mengatakan, mimbar itu merupakan buah karya Cek Ban Cut, arsitek kebangsaan China yang berganti nama menjadi Pangeran Wiradiguna setelah masuk Islam. Pendapat ini berangkat dari gaya arsitektur yang lebih mirip dengan budaya China, semacam pagoda. Bahkan warnanya pun mirip dengan klenteng.
Berbeda dari mimbarnya yang menarik perhatian, mihrabnya (tempat imam memimpin shalat) yang berbentuk ceruk justru sangat kecil, sempit dan sederhana. Ini berbeda dari mihrab yang berkembang pada masjid di belahan dunia lain.
Adanya pendopo dan kolam untuk wudu di sebelah timur melengkapi karakteristik masjid Jawa umumnya. Tiang pendopo yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf itu juga menggunakan umpak batu labu dengan bentuk bangunan dan teknik konstruksi tradisional Jawa. Kemudian pintu depan yang dibangun dengan ukuran kecil dan pendek, dapat ditafsirkan berupa ajakan agar saat masuk masjid, kita harus bersikap tawadhu, rendah hati dan tidak boleh sombong.
Yang aneh adalah tata letak makam Sultan Maualana Hasanuddin beserta keluarganya. Secara tradisi, makam pendiri masjid pada kompleks masjid tradisional di Jawa diletakkan di sisi barat, namun di masjid ini diletakkan di sisi utara. Padahal di sebelah barat Masjid Agung Banten terdapat makam Syarif Husein, penasehat Maualana Hasanuddin. Motif tata letak ini juga terdapat di beberapa masjid bersejarah di wilayah Banten, seperti di Masjid Kasunyatan yang dibangun oleh Maulana Yusuf, putra Maulana Hasanuddin. Makam Maulana Yusuf tidak bertempat di sebelah barat masjid di mana terdapat makam gurunya, Syekh Madani. Melainkan berada di tengah sawah. Mengenai makam Maulana Yusuf ini, Hatta Kurdie berasumsi bahwa peletakan makam di areal sawah tersebut karena kecintaan Maulana Yusuf yang ahli pertanian, terhadap pertanian.

Demikianlah potret Masjid Agung Banten Lama, sebuah peninggalan sejarah yang kaya akan nilai-nilai sejarah dan multi budaya tapi tetap sarat nilai-nilai Islam. Tapi sayang, sejauh pengamatan wartawan SC. Magazine, pemeliharaan terhadap situs sejarah ini kurang maksimal dengan adanya kekeroposan tembok di mana-mana dan rumput liar serta sampah di halaman masjid.


 ============   AYOOOO  JELAJAH  INDONESIA  =========






No comments:

Post a Comment