Waduk Saguling adalah satu dari tiga waduk yang membendung
aliran Sungai Citarum. Dua waduk lainnya yang membendung Sungai Citarum
berturut-turut adalah Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur. Walaupun air Sungai
Citarum pertama kali dibendung di waduk ini, pada kenyataannya, waduk ini
terbangun terakhir setelah dua waduk lainnya. Waduk ini juga menjadi sorotan
karena tingkat pencemarannya yang tinggi. Sehubungan dengan tingginya aktifitas
warga desa di waduk mulai dari penggunaan air untuk minum, masak hingga mandi,
cuci, kakus maka waduk ini kerapkali disorot karena pencemarannya. Memang, air
waduk disaring terus menerus dari Saguling, ke Cirata hingga Jatiluhur. Alhasil,
tingkat pencemaran terendah adalah Waduk Jatiluhur di Purwakarta. Waduk ini
juga agak berbeda dengan dua waduk lainnya karena wilayah cakupannya yang
berteluk-teluk.
Sukar mencari informasi wisata tentang Waduk Saguling di internet atau di buku.
Akhirnya, saya sampai harus survey sendiri ke lokasi untuk mencari tahu lokasi
wisata ini. Waduk Saguling sebenarnya memang merupakan area wisata. Di pintu
gerbang masuk utamanya di Rajamandala ada plang bertuliskan “Objek Wisata
Saguling” dengan detail :
- Pemandian Air Panas 7 KM
- Bumi Perkemahan 21 KM
- Bendungan 20 KM
- Wisma Sangkuriang Lengkap
- Sarana Olahraga
Jadi, mengapa objek wisata ini tidak terekspos sama sekali dari dunia luar?
Kita lihat kelanjutan cerita ini.
Sekitar 1 kilometer perjalanan melewati rumah-rumah penduduk sekitar, sampailah
saya di percabangan antara Kantor PLTA Saguling dan pintu masuk waduk. Di pintu
masuk yang berpalang rendah, saya diberhentikan oleh satpam. Di pos satpam
tersebut ada dua orang polisi yang sedang duduk. Saya ditanya perihal
kepentingan saya memasuki areal bendungan. Saya jawab “jalan-jalan”. Kemudian
beliau meminta saya menepikan mobil saya dan saya diminta masuk ke pos satpam
tersebut. Di pos satpam tersebut, saya diminta menunjukkan KTP saya guna
dicatat identitas dan kepentingannya. Selesai, tidak ada tiket masuk atau
pembayaran apapun. KTP yang dipinjam hanya satu buah saja, tidak semua peserta
diminta menunjukkan KTP-nya. Bahkan saya bisa bertanya-tanya detail akan objek
wisata di dalam waduk yang akan saya kunjungi. Yang mengejutkan, beliau
menjawab, jarak bendungan masih jauh. Kalau mau yang dekat, paling pemandian
air panas saja. Selesai proses administrasi yang cenderung lebih menyerupai
kunjungan ke kantor daripada objek wisata, saya kembali ke kendaraan dan memasuki
wilayah Saguling.Ternyata, apa yang tertulis di plang dan dikatakan oleh pak
satpam tersebut adalah benar. Bendungan masih jauh sekali dari pos satpam yang
ada di depan Rajamandala. Saya jadi berpikir, mengapa tidak membangun akses
yang lebih mudah saja? Yang jelas, 20 kilometer yang saya lalui ini tidaklah
mulus. Ada sebagian jalan yang amblas sehingga hanya tersisa satu setengah ruas
jalan saja, ada yang tertimbun longsoran tanah sehingga tersisa satu jalur
saja, banyak yang bopeng dan bolong, dan keseluruhan, jalanan yang saya lalui
mendaki dan menurun curam tanpa adanya terlihat penerangan di sisi jalan. Saya
nggak yakin mau berkunjung ke Saguling selepas malam turun. Saya nggak melihat
adanya satupun lampu penerangan jalan (walaupun kabel listrik terlihat beberapa
kali melintas). Adalah ide yang sangat baik untuk pulang dari tempat ini
sebelum malam tiba.
Hampir seluruh wilayah masuk menuju bendungan adalah wilayah perbukitan yang
tertutup dengan hutan dan semak-semak. Desa hanya tersisa di sebagian kecil
wilayah dekat pintu air. Warung-warung penjual makanan kecil terdapat satu dua
buah sepanjang perjalanan ini. Sekitar 7 kilometer dari pintu masuk, anda akan
bertemu percabangan yang menuju ke pemandian air panas. Sayang, saya nggak
sempat berendam karena mengejar kunjungan ke pintu air. Jalanan sebelum
pemandian banyak yang longsor dan amblas. Anda akan bertemu banyak menara
tegangan tinggi aliran listrik disini. Sementara itu, jalanan selepas
percabangan pemandian mulai mendaki curam. Objek wisata yang dapat anda nikmati
adalah Curug Bedil, sebuah air terjun kecil yang terletak persis di tepi jalan
pada sebuah belokan. Pada putaran sebelum sampai di air terjun mini ini, anda
akan berjumpa dengan kaki Curug Bedil ini. Objek wisata berikutnya yang terletak
agak ke atas lagi dimana anda bisa melihat pemandangan seluruh perbukitan yang
tertutup kabut adalah Tangki Pendatar Air (Surge Tank) yang jelas-jelas bukan
objek wisata alam. Namun, bangunan tinggi besar yang masif seperti ini di
tengah-tengah hutan tentu menarik untuk dijadikan objek berfoto. Bentuk
bangunan yang tidak lazim serta unik, sangat menarik minat saya untuk berfoto
di tempat ini. Tepat di seberang tangki ini, pemandangan perbukitan sekeliling
bisa terlihat dengan jelas kalau kabut tidak menghalangi. Yang jelas, posisi
tangki ini sudah di bagian bukit yang agak tinggi sehingga pemandangan sekitar
bisa terlihat dengan leluasa. Selepas tangki, barulah anda akan bertemu dengan
tonggak pembatas antara kawasan operasional waduk dengan Desa Saguling, wilayah
Batujajar. Disini, anda akan melihat kembali rumah-rumah penduduk, lapangan
bola, bahkan sekolah. Tidak lama sesudahnya, anda akan melihat areal
perkantoran bendungan dengan Waduk Saguling sebagai latar belakangnya. Yak,
anda sudah sampai di Waduk Saguling. Yang menyenangkan, udara selama perjalanan
sangat mendukung. Cuacanya sejuk dan bahkan cenderung mendung. Uniknya,
beberapa kali saya bertemu dengan sepeda motor yang mengenakan jas hujan dimana
jas hujan yang mereka kenakan betul-betul basah kuyub. Saya sampai
bertanya-tanya, akankah kita melewati air terjun dengan kendaraan? Saya juga
mengamati, pengunjung waduk ini lebih banyak sepeda motor dibanding mobil. Ini
mungkin berkaitan juga dengan leluasanya mobilitas sepeda motor untuk keluar
masuk wilayah ini (ada beberapa area yang dipalang namun motor bisa melewati
celah di palang tersebut). Apabila saya warga lokal, pasti dech, saya akan
mempertimbangkan untuk menggunakan sepeda motor.
Pasti mengasyikkan!Waduk Saguling, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya
adalah wilayah berteluk-teluk. Waduk di satu sisi belum tentu waduk lagi di
sebelahnya. Saya sendiri akhirnya hanya bisa masuk ke dalam areal sebuah taman
yang tampaknya dalam perbaikan. Dari taman ini, saya hanya bisa melihat sebagian
kecil wilayah waduk karena terhalang oleh perbukitan dan pepohonan. Waduk,
tentu ada di seberang perbukitan tersebut. Kurang leluasa sich intinya.
Walaupun demikian, wajah waduk cukup dapat terlihat dari taman ini. Saya bisa
melihat air waduk yang tenang beserta pintu airnya. Airnya ternyata cukup
bersih dan tidak seperti yang saya bayangkan. Sayang, tidak seperti Jatiluhur
dimana terdapat perahu-perahu di pantai waduk yang akan membawa wisatawan ke
tengah waduk, Waduk Saguling benar-benar menyerupai sebuah waduk sejati,
terutama dengan dinding beton di sekelilingnya. Tidak ada interaksi antara
wisatawan dengan air waduk. Hujan yang turun (tampaknya sudah turun
berkali-kali di sini) mengacaukan kunjungan saya. Akhirnya saya berteduh di
sebuah gorong-gorong besar di tengah taman. Gorong-gorong berwarna kuning ini
bentuknya menyerupai deretan tapal kuda yang disusun sehingga membentuk
terowongan. Ternyata, benda yang tadinya saya kira gorong-gorong adalah sebuah
monumen penghargaan untuk para pekerja yang meninggal dalam pembangunan waduk
ini. Mereka yang meninggal dalam periode tahun 1980 – 1984 (masa pembangunan
waduk) tercantum dalam batu prasasti yang ada di depan bangunan tapal kuda
tersebut. Bangunan tapal kuda tersebut sebenarnya menarik untuk dijadikan objek
foto-foto. Tadinya, saya malah berpikir ini bagian dari pipa bendungan atau
bagian dari alat PLTA yang tidak digunakan. Sayangnya, hampir keseluruhan
bangunan, prasasti dan bagian dari taman ini habis tercoret-coret oleh grafitti
yang dicoret oleh tangan-tangan usil. Kesannya, taman dan bangunan ini jadi
kumuh tak terawat. Bahkan, beberapa nama sudah pudar, terhalang oleh grafitti
yang lebih mencolok warnanya tersebut. Sayangnya, saya tidak memiliki waktu
banyak untuk menyesalinya karena waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore lewat 11
menit. Awan mendung berat tergantung di langit di atas saya. Sebaiknya saya
bergegas kalau tidak ingin terjebak malam di tengah gunung. Suatu hal yang saya
sangat hindari. Dalam perjalanan pulang dan kedatangan tadi, saya sempat
mencoba untuk mematikan AC dan membuka kaca jendela lebar-lebar. Maksudnya agar
mobil kuat menanjak dan udara segar pegunungan bisa membersihkan paru-paru
saya. Yang jelas, saya akan kembali lagi suatu saat nanti ke Saguling. Berharap
ada lebih banyak lagi titik yang dibuka untuk kendaraan mobil. Pada waktu
kedatangan saya saja, akses menuju bumi perkemahan tertutup dan hanya bisa
dilalui oleh motor saja.
========= AYOOOO JELAJAH INDONESIA =========
No comments:
Post a Comment