Kali ini kami berada di Candi Ratu Boko, Situs seluas sekitar 25 ha ini bisa dibilang menjadi
satu-satunya situs arkeologi yang memadukan arsitektur khas Hindu dan Budha.
Terletak hanya sekitar 3 kilometer kearah selatan Candi Prambanan, tepatnya di
kecamatan Bokoharjo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kira-kira 18 km sebelah
timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Solo.
Pertama yang kita lihat kalau kita ikuti
papan petunjuk yang ada di pinggir jalan dari arah Candi Prambanan adalah pintu
masuk pertama yang kata bapak penjaga loket kalau lewat situ jalan kakinya
lebih jauh. Waktu itu kami direkomendasikan lewat pintu yang kedua,
tapi tiket bisa dibeli kok di loket pintu masuk pertama.
Setelah menebus tiket, kami pun
melaju menuju ke pintu masuk Kraton Ratu Boko yang kedua. Cukup mudah didatangi
juga, secara penunjuk arahnya dimana-mana. Nanti bakal melewati desa-desa
dengan dihiasi sawah dan perbukitan hijau. Selain itu bakal melewati pula jalan
masuk menuju Candi Ijo dan Candi abang. Kalau kalian punya waktu banyak, bisa
dicoba nengok semua candi itu. Saran kami, taruh Kraton Ratu Boko di urutan kunjungan
yang terakhir. Karena apa, sunset dari kompleks Ratu Boko mantap nian pokoknya.
Welcome to Ratu Boko Palace...!!! Kalau kita lihat konstruksi yang masih
berdiri, Ratu Boko berbeda dengan Borobudur, Prambanan, dan candi-candi yang
lain karena kesan yang kita peroleh pasti menganggap kalau Ratu Boko adalah
suatu kompleks kerajaan. Terlihat dari saat awal kita masuk area candi yang
sudah disambut dengan gerbang masuk yang berundak, kemudian ada pendopo,
permandian, dan diperkirakan ada pemukiman-pemukiman yang
dulunya berkonstruksi
kayu-kayu namun yang tampak saat ini hanya pondasinya saja.
Karena berkonstruksi batu andhesit maka
Kraton Ratu Boko ada pula yang menyebut sebagai candi, namun sejatinya memang
bukanlah candi. Meskipun lebih mirip kraton, banyak pula perbedaan antara situs
Ratu Boko dengan kebanyakan kraton di tanah Jawa karena kedudukannya yang
berada di atas bukit. Sedangkan kraton yang lain biasanya didirikan di dataran
yang mudah dijangkau dengan terdapat elemen-elemen tertentu misalkan alun-alun
dan yang lainnya.
Keistimewaan lain dari situs ini adalah
adanya tempat di sebelah kiri gapura yang terdapat spot yang dinamakan Candi
Pembakaran atau bisa disebut tempat kremasi yang mana candi-candi yang lain
nggak ada yang seperti ini. Diperkirakan pula kegiatan kremasi adalah hal yang
sudah menjadi syarat mutlak jika ada kematian. Melihat juga candi pembakaran
yang menyerupai altar, menandakan upacara pembakaran mayat merupakan satu
upacara yang besar pada waktu itu karena memungkinkan upacara tersebut dihadiri
seluruh penduduk.
Setelah membahas konstruksi dan letak
geografisnya, seru kayaknya kalau dilanjutkan dengan membahas sisi sejarahnya.
Ada cerita apa aja sih dibalik misteri berdirinya Kraton Candi Ratu Boko.
Pastinya banyak pertanyaan yang muncul.
Sekilas
tentang sejarahnya, situs yang juga peninggalan kerajaan mataram kuno ini
bermula dari seorang belanda bernama H.J. De Graff. Pada abad ke 17 ia mencatat
bahwa orang-orang Eropa yang datang ke Jawa telah menginformasikan adanya
peninggalan sejarah purbakala. Mereka menerangkan bahwa telah ditemukan
reruntuhan bangunan istana di Bokoharjo. Berdasarkan sejarah kerajaan Mataram
kuno pada abad ke-8, Ratu
Boko telah digunakan oleh dinasti Syailendra (Rakai
Panangkaran) jauh sebelum zaman raja Samaratungga (pendiri Borobudur) dan
Rakai Pikatan (Pendiri Prambanan). Sedangkan kisah lain yaitu kisah Prabu Boko
yang berkembang sebagai cerita rakyat kuno tanah Jawa juga menyebutkan telah
ditemukannya reruntuhan bangunan istana pada jaman masuknya agama Hindu persis
ditempat yang dicatat oleh seorang Belanda tersebut. Namun, kutipan kisah Mas
Ngabehi Purbawidjaja dalam Serat Babad Kadhiri mungkin yang lebih jelas
menggambarkan keberadaan candi Ratu Boko yang dipenuhi pesona mistis
didalamnya, begini ringkasnya:
“Alkisah pada suatu ketika, bertahtalah
seorang Raja yang bernama Prabu Dewatasari di Kraton Prambanan, namun banyak
diantara rakyatnya yang menyebut juga bahwa Raja Prambanan adalah Prabu Boko,
seorang Raja yang ditakuti karena konon menurut cerita, Prabu Boko gemar makan
daging manusia. Ternyata, sesungguhnya Prabu Boko adalah seorang perempuan,
yaitu permaisuri Raja Prambanan yang bernama asli Prabu Prawatasari. Prabu Boko
adalah perempuan titisan raksasa yang bernama Buto Nyai,
meski demikian, kecantikannya tidak ada yang
menandingi di wilayah Jawa Tengah kala itu. Karena postur badannya yang tinggi
melebihi rata-rata tinggi orang dewasa di masa itu, maka dia juga mendapat nama
alias atau julukan Roro Jonggrang. Setelah melahirkan putranya, Prabu Boko
mempunyai kebiasaan memakan daging manusia. Dan karena perbuatannya tersebut, sang
Raja Prabu Dewatasari murka dan mengusir permaisurinya meninggalkan istana.
Kepergian sang permaisuri meninggalkan luka bagi Raja dan putranya yang masih
bayi. Akhirnya dibuatlah patung dari batu yang menyerupai istrinya yang kini
dikenal dengan Roro Jonggrang”.
Sumber lain dari Prasasti Abhayagiri
Wihara yang berangka tahun 792 M yang ditemukan di situs Ratu Boko. Dalam
prasasti ini menyebut seorang tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana
atau Rakai Panangkaran (746-784 M), serta menyebut suatu kawasan wihara di
atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara yang kalau
diartikan ke bahasa Indonesia kira-kira bermakna "biara di bukit yang
bebas dari bahaya". Rakai Panangkaran mengundurkan diri sebagai Raja
karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah
keagamaan, salah satunya dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri
Wihara pada tahun 792 M. Rakai Panangkaran menganut agama Buddha demikian juga
bangunan tersebut disebut Abhayagiri Wihara adalah berlatar belakang agama
Buddha, sebagai buktinya adalah adanya Arca Dyani Buddha. Tapi anehnya ditemukan pula unsur–unsur agama
Hindu di situs Ratu Boko Seperti adanya Arca Durga, Ganesha dan Yoni.
Kelihatannya setelah selang waktu beberapa
lama, kompleks ini kemudian diubah menjadi keraton dilengkapi benteng
pertahanan bagi raja bawahan (vassal) yang bernama Rakai Walaing Pu Kumbayoni.
Menurut prasasti Siwagrha tempat ini disebut sebagai kubu pertahanan
yang terdiri atas tumpukan beratus-ratus batu oleh Balaputra. Bangunan di atas
bukit ini dijadikan kubu pertahanan dalam pertempuran perebutan kekuasaan di
kemudian hari. Karena keunikannya, susah juga kan sebenarnya kalau mengira-ira
digunakan untuk apa sejatinya bangunan itu dulunya hanya dengan melihat
eksistensinya saat ini, tapi penjelasan di atas semoga bisa memberi bayangan
tanda tanya besar itu.
Mau nggak mau harus jalan kaki kalau mau
keliling di semua spotnya. Pertama kali biar sopan kita melewati gerbang utama
dulu. Terdiri dari 2 pintu di Paduraksa dengan sebuah atap berbentuk Ratna yang
fungsinya sebagai pintu masuk utama. Pintu yang pertama terbuat dari
batuan andesit, namun lantai dan tembok tangganya terbuat dari batu kapur putih
halus. Panjang pintu pertama adalah 12m, lebar 6,90 m, dan tinggi 5,05 m serta
memiliki 3 pintu. Sedangkan pintu yang kedua memiliki panjang 18,60 m ,
lebar 9 m, tinggi 4,50 m serta memiliki 5 pintu.
Bangunan ini yang bakal kita lihat pertama kali
setelah masuk gerbang. Ada di sebelah kiri. Terbuat dari batuan andesit dan
memiliki panjang 22,60 m , lebar 22,33 m dan tinggi 3,82m. Candi ini
dinamakan Pembakaran karena ditemukan abu bekas pembakaran di situs candi
Pembakaran. Ukuran sumurnya 2,30m x 1,80m, kedalaman airnya pada
musim kering 2m. Pada zaman dahulu orang-orang menggunakan air dari sumur
suci untuk upacara keagamaan di candi Pembakaran dan air dari sumur tersebut
dipercaya membawa keberuntungan bagi siapa saja yang menggunakannya. Para
pemeluk agama Hindu menggunakan air dari sumur tersebut untuk perayaan Tawur
Agung (sehari sebelum Nyepi) untuk menyucikan diri, Banyak lagi yang lainnya,
silahkan mampir kesini…….
======= AYOO
JELAJAH INDONESIA =======
No comments:
Post a Comment