Friday 3 February 2017

TUGU OTISTA MAUK TANGERANG

OTTO dibesarkan dalam suasana keluarga yang berekonomi lebih dibandingkan dengan anak-anak lain di kampungnya. Maklum, ayahnya adalah seorng bangsawan Sunda yang cukup terpandang di Bandung. Umur Otto pun sudah menginjak enam tahun. Maka, sudah saatnya ia mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Oleh ayahnya, Otto disekolahkan di HIS (Hollandsh Inlandsche School), Karang Pawulang Bandung. Sekolah setingkat SD yang hanya menerima anak-anak bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, dan pegawai negeri.
Suatu hari, beberapa bulan sebelum Otto menamatkan pendidikannya di HIS. “Hei, Otto, cepat kemari. Gurunya sebentar lagi datang,” seru seorang temannya sambil melambaikan tangan dari balik jendela kelas. Otto kemudian duduk di kursinya. Ia membaca-baca buku sebentar. Beberapa saat kemudian sang guru yang dinanti itu pun datang.
“Anak-anak, hari ini kita akan membahas tentang cita-cita. Sekarang Bapak mau tanya, apa cita-cita kalian setelah besar nanti?” Tanya sang guru seraya mengambil kapur dan menuliskan kata ‘Cita-cita’ di atas papan tulis dengan bahasa Belanda.
“Saya mau jadi dokter,” sahut salah seorang murid.
“Kalau saya mau jadi insinyur saja,” celetuk temannya.
“Saya mau jadi saudagar  atau pengusaha biar banyak duit,” timpal yang lainnya.
Otto diam sejenak, ia tak memberi jawaban apa pun. Meski demikian, bukan berarti ia tidak punya cita-cita. Melihat Otto terdiam, gurunya pun bertanya. “Otto, kamu ingin jadi apa?”
“Saya ingin menjadi guru seperti Bapak. Saya ingin sekali membebaskan bangsa ini dari kebodohan hingga menjadi manusia-manusia cerdas dan terlepas dari ketertindasan dan kemiskinan,” jawab Otto lantang.
***HARI itu, langkah Otto terhenti di sebuah bangunan kokoh yang serba putih. Matanya menatap lekat jendela-jendela besar setinggi pintu yang terpasang di dinding-dindingnya. Lengkap dengan tiang-tiang tebal menjulang sebagai penyangga dan pemercantik bangunan itu. Satu dua pohon mahoni dan palem merindangi halamannya yang luas. “Inilah sekolahku selanjutnya,” gumam Otto.
Otto melanjutkan langkahnya memasuki pintu utama bangunan itu. Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang guru, Otto bersekolah di Kweekschool Onder-bouw Bandung. Sekolah pendidikan guru bagian pertama. Anak-anak yang belajar di sana diwajibkan untuk berasrama di sekolah itu, supaya mereka lebih terpantau oleh guru-gurunya.
Mungkin karena sifat agresif dan pemberani yang sudah melekat dalam jiwanya, maka tak jarang buah dari sifat-sifat yang dimiliki Otto tersebut sering dianggap sebagai tindakan melawan atau tak patuh kepada aturan. Karena itu, ia acapkali mendapat hukuman dari pimpinan asrama lantaran sifat dan keberaniannya itu.
“Hei, Otto! Kamu dihukum atas perbuatanmu tadi! Kamu dilarang keluar kamar sampai besok pagi,” ucap wakil pimpinan asrama, setengah membentak kepada Otto.
“Huh, dasar anak inlander! Sudah berkali-kali ia membuat ulah. Anak pribumi yang nakal dan tak patuh itu memang pantas mendapatkan hukuman,” desis seorang pemuda Belanda dengan kesalnya, yang tak lain adalah pimpinan asrama.
Setamat dari sekolah HIS, Otto pindah ke Purworejo, Jawa Tengah. Ia pergi kesana untuk memantapkan studinya sebagai calon guru di sekolah HKS (Hogore Kweekschool), tempat pendidikan guru tingkat atas. Di sana, ia kembali tinggal di asrama. Otto, pemuda yang gemar membaca. Tulisan apapun dibacanya, termasuk bacaan yang berkaitan dengan perkembangan tanah airnya yang masih dalam jajahan Belanda.
“Kau tahu, tadi pimpinan asrama mengumumkan suatu aturan tentang larangan tidak dibolehkannya kita, murid-murid HKS untuk membaca surat kabar karangan Douwes Dekker,” kata seorang teman sekamar Otto sambil menghempaskan tubuhnya ke atas pembaringan.
Otto menghela nafas. “Ya, aku dengar kabar itu. Tapi entahlah, mungkin pimpinan sekolah tak ingin otak kita sebagai warga pribumi terwarnai oleh pemikiran-pemikiran Douwes Dekker yang dianggap mengkhawatirkan kedudukan pemerintahan Hindia Belanda,” kata Otto, sambil membetulkan posisi duduknya.
“Kamu tahu tidak, kenapa kita dilarang membaca artikel Douwes Dekker?”
“Aku tidak tahu,” sahut temannya jujur.
“Douwes Dekker itu terkenal dengan tulisannya yang sangat pedas dan sering mengecam pemerintah Belanda. Douwes Dekker menaruh empati yang sangat besar atas penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia yang sudah terlalu lama dijajah Belanda. Apa yang dilakukannya itu, dinilai oleh Belanda sebagai sebuah pemberontakan terhadap negaranya sendiri,” lanjut Otto menggebu-gebu.
“Eh, kamu tahu darimana?” tanya temannya. Ia merasa heran dengan pengetahuan Otto yang cukup luas itu.
“Ah, itu hanya perkiraanku saja. Mungkin saja perkiraanku itu benar,” ujar Otto seenaknya.
Temannya menguap, perlahan-lahan ia pun mulai tertidur. Melihat itu, Otto pun mengangkat bantalnya, lalu kembali meneruskan bacaannya pada halaman terakhir surat kabar De Express, Di surat kabar itu, Otto sering membaca artikel karangan Douwes Dekker secara sembunyi-sembunyi. Karena jika ketahuan, selain koran itu bisa dirobek, ia juga akan mendapat hukuman.
Lima tahun berlalu sudah. Otto telah lulus dari HKS tahun 1920. Di umur 23 tahun, ia mulai menyebarkan kembali ilmunya di HIS Banjarnegara. Di sana, ia menjadi pengajar sekaligus pendidik yang penuh disiplin dan tanggung jawab. Seperti cita-citanya dulu, ia menginginkan murid-muridnya menjadi generasi yang berilmu. Dengan bekal pengetahuan yang ia berikan, ia berharap  murid-muridnya memiliki rasa tanggung jawab pada negerinya, dan semakin timbul kesadaran mereka untuk segera bangkit merebut kebebasan yang sudah menjadi hak dasar manusia dari tangan penjajah Belanda.
Suatu ketika, ada seorang guru penuh wibawa masuk ke dalam kelas tujuh. Sebelum ia mengajar, ia menyuruh seorang muridnya untuk pindah duduk ke belakang.
“Soekirah, selama pelajaran saya, kamu duduk di belakang untuk sementara waktu,” ucap sang guru, setiap kali ia mengajar di kelas tujuh tersebut. Sang murid tak berani membantah. Ia lantas patuh mengikuti perintah gurunya, meski benaknya penuh dengan pertanyaan: “Apa salahku, hingga harus selalu disuruh duduk di belakang setiap diajar olehnya?”
Di pertengahan pelajaran, sang guru membuka koran yang dibawanya dan pura-pura membacanya. Tak ada yang tahu, bahwa ada bolong kecil di koran itu. Dari lubang itu, sang guru mencuri pandang wajah muridnya yang bernama Soekirah tadi. Ya, sang guru menaksir muridnya. Lucunya, guru itu tak lain adalah Otto Iskandardinata, sosok berwibawa dengan perawakan tinggi besar berkulit coklat. Di HIS Banjarnegara itulah, Allah mempertemukan Otto dengan jodohnya, Raden Nyi Soekirah. Yang akhirnya, pada tahun 1923 mereka pun melangsungkan pernikahan.
Pada tahun 1921, Otto dipindahkan mengajar ke HIS Bandung, kota dimana ia melewatkan masa kecilnya dulu. Disanalah, ia mulai memasuki ranah politik dengan aktif menjadi wakil ketua organisasi Budi Utomo cabang Bandung. Otto tak lama di Bandung. Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 1924, ia mendapat tugas mengajar di HIS pekalongan. Maka, dengan semangat jiwa pendidiknya, ia bersama istrinya pindah ke sana. Di Pekalongan pun, Otto menjadi wakil ketua organisasi Budi Utomo cabang Pekalongan.
Lantaran Otto adalah pribadi yang suka berterus terang dan terbuka, ia berani membongkar sebuah kasus penipuan terhadap rakyat pekalongan yang dilakukan oleh pengusaha Belanda. Kasus tersebut bernama “Bendungan Kemuning”. Keberaniannya membuka kasus tersebut, membuat residen atau pimpinan daerah Pekalongan marah. Akibatnya, Otto masuk dalam daftar hitam orang-orang yang diancam hukum buang. Konflik dengan sang residen berakhir dengan dipindahkannya residen tersebut ke daerah lain. Otto pun dipindahkan ke Jakarta, yang pada waktu itu bernama Batavia. Sikap-sikap Otto membuat gelisah pemerintah Hindia Belanda. Karena alasan itulah Otto dipindahkan ke Batavia.
Di Batavia, ia kemudian mengajar di HIS Muhammadiyah. Disana, mulai bulan Juli 1928, ia memasuki organisasi baru dengan langsung menduduki jabatan sebagai Sekretaris Pengurus Besar Organisasi Paguyuban Pasundan cabang Batavia. Otto yang berdarah Sunda sangat berpartisipasi dalam organisasi kebudayaan tersebut. Paguyuban Pasundan tak lain merupakan orsanisasi yang didirikan kebanyakan oleh orang-orang Sunda. Tujuan utamanya adalah memajukan kehidupan orang-orang Sunda khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Organisasi itu didirikan atas keyakinan bahwa suatu saat Indonesia pasti merdeka. Bulan Desember pada tahun yang sama, diadakan rapat di Bandung. Otto terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar Paguyuban Pasundan.
“Menjadi kebanggaan tersendiri bagi kita, masyarakat Sunda dengan adanya ketua yang terampil seperti Pak Otto sebagai penggerak dan penerus Paguyuban Pasundan,” Siang itu, seorang pemuda Sunda tersenyum sambil bergumam pelan. Matanya lurus menatapSipatahunan di tangannya, sebuah surat kabar terbitan Paguyuban Pasundan.
“Ya, Paguyuban Pasundan semakin diminati dan mengalami kemajuan yang sangat pesat setelah dipimpin oleh Pak Otto.” timpal teman disampingnnya yang juga turut membacaSipatahunan.
“Tahun 1941 ini, tercatat sudah 51 unit sekolah yang tersebar di 36 daerah di Jawa Barat yang didirikan oleh Paguyuban Pasundan. Bukankah ini prestasi yang luar biasa?” lanjut pemuda Sunda tadi berapi-api. Ia melipat kembali surat kabar dan meletakannya di atas meja, lalu diseruputnya kopi panas dihadapannya.
“Yah…, itu diantaranya karena Pemerintah kolonial Belanda sedikit sekali mendirikan sekolah. Selain itu, Paguyuban Pasundan mengerti betul bahwa untuk memajukan rakyat, diantara cara yang paling pas adalah memajukan pendidikannya pula.” desis teman si pemuda yang masih asyik membaca surat kabarnya. “Kiranya Pak Otto begitu menjiwai peranannya dalam pengembangan bidang pendidikan karena ia sendiripun berprofesi guru dulunya.” lanjutnya.
“Di bidang sosial, Paguyuban Pasundan membantu para penduduk yang terkena bencana alam, seperti banjir, kebakaran dan masyarakat miskin yang kelaparan. Bahkan, kudengar, Pak Otto memberi bantuan berupa sembako gratis untuk siapa saja yang membutuhkan tanpa mengharap imbalan.” si pemuda berdecak kecil. Teman di sampingnya spontan menjentikkan jari. “Dia figur pemimpin dermawan yang patut dicontoh!” pekiknya.
“Ya, dan kukira, Raden Nyi Soekirah, istrinya Pak Otto, harus pandai-pandai mengatur keuangan untuk menghadapi sifat murah hati suaminya.” Si pemuda tersenyum, benaknya tengah dipenuhi sosok bersahaja itu.
Otto dikaruniai 12 orang anak. Meski ia sibuk mengurusi organisasi Paguyuban Pasundan, dan menjadi anggota parlemen di pemerintahan Hindia Belanda, namun tak mengurangi perhatiannya kepada anak-anaknya. Jika salah seorang anaknya berulang tahun, misalnya, ia tak lupa mengajak anaknya jalan-jalan atau pergi ke toko untuk membeli kado.
Dengan 12 anaknya itu, Otto menempati rumah yang cukup besar dan banyak kamar. Namun, kamar mandinya hanya ada satu. Ketika pagi menjelang anak-anaknya mengantri di depan kamar mandi menunggu ayah mereka yang sudah masuk lebih dahulu. Jika sang ayah sudah selesai dan membuka pintu kamar mandi, ia akan berteriak “Indonesia Merdeka!” dengan kepalan tangan yang diangkat. Jika anak-anaknya diam saja, ia akan mengulanginya lagi sampai anak-anaknya meniru ucapannya. “Merdeka!”. Dengan kebiasaan seperti itu, Otto berusaha menanamkan rasa nasionalisme pada keluarga, terutama pada anak-anaknya.
Suatu ketika Otto berkata kepada anak-anak lelakinya. “Anak-anakku, lekatkanlah kata-kata ayah di hati kalian. Ingatlah, bahwa kita punya tiga Ibu yang harus kita cintai.” Suaranya yang tegas berhenti. Ia memandang anaknya satu per satu, kemudian melanjutkan perkataannya. “Ibu yang pertama adalah ibu kandung. Ibu yang kedua adalah ibu dari anak-anak kalian nanti. Ibu yang ketiga adalah ibu pertiwi. Ibu yang pertama harus rela ditinggalkan demi kepentingan ibu kedua. Dan ibu kedua pun harus rela ditinggalkan demi kepentingn ibu ketiga.”
Pada rapat sidang volkraad (parlemen), Otto dikenal suka mengecam Pemerintah Hindia Belanda. Ia berani berterus terang dalam mengemukakan pendapatnya tentang ketidakadilan dan sindiran pada Pemerintah Hindia Belanda. Tak jarang, Otto dan pihak Belanda saling berdebat dalam rapat. Otto cerdik dalam membabat lawan-lawannya dengan gebrakan mautnya.  Tak heran bila para penjajah Belanda itu akhirnya sering naik pitam. Karena keberaniannya kepada Pemerintah Hindia Belanda itulah, ia dijuluki “Si Jalak Harupat”. Julukan ini, bermakna seperti ayam jago yang keras dan tajam menghantam lawan, kencang bila berkokok, dan selalu menang bila diadu.
Pada suatu kesempatan dalam rapat, Otto meluncurkan ucapan tajamnya pada para penjajah Belanda. “Seperti orang beriman percaya akan adanya Allah, begitulah juga saya percaya akan datangnya kemerdekaan bagi semua negara terjajah, juga bagi Indonesia. Cara rakyat memperoleh kemerdekaan dengan atau tanpa kekerasan itu bergantung kepada negara Belanda sendiri. Akan tetapi, saya percaya Tuan Ketua, bahwa bangsa Tuan  yang dikenal sebagai bangsa tenang berpikir akan mampu memilih antara dua kemungkinan ini. Mengundurkan diri atau diusir.”
Pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan rahmat dari Allah SWT, Indonesia berhasil meraih kemerdekaan dengan usaha dan kerja keras dari seluruh rakyatnya dari penjajahan Jepang. Otto Iskandardinata tak hanya berperan di organisasi Budi Utomo, anggota Parlemen dan Paguyuban Pasundan saja. Ia pun terpilih untuk mengikuti sidang PPKI, pada 19 Agustus 1945. Ia spontan memberikan suaranya untuk mencalonkan Bung Karno sebagai presiden pertama, dan Bung Hatta sebagai wakil presiden Indonesia di awal kemerdekaan waktu itu. Semua yang menghadiri sidang PPKI menyetujui usulannya.
Otto mendapat amanat menjadi Menteri Keamanan Pertama yang mengurusi masalah-masalah penting di awal kemerdekaan. Ketika itu, penjajah Jepang masih berada di tanah air. Para pemuda Indonesia ingin merebut senjata dari orang-orang Jepang. Karena di awal kemerdekaan, Indonesia belum mempunyai jumlah senjata yang banyak untuk berjaga-jaga kemungkinan adanya penyerangan dari luar. Rencana perebutan itu dilakukan oleh para pemuda. Namun gagal, dan hanya sedikit sekali yang berhasil. Jepang enggan menyerahkan senjatanya karena mereka mendapat amanat dari Sekutu untuk tidak menyerahkan senjatanya dan tetap berada di Indonesia sampai sekutu datang.
Para pemuda meminta Otto untuk menghubungi pihak Jepang agar menyerahkan senjata-senjatanya pada para pemuda. Akhirnya Otto mendatangi Jenderal Mabuchi, dan mengutarakan keinginan para pemuda. Hasil pembicaraan Otto dengan pihak Jepang tidak memuaskan para pemuda. Mereka sudah tidak sabar dengan proses yang berjalan lambat. Perampasan senjata pun terus dilakukan oleh pemuda. Jepang tak tinggal diam. Mereka pun mengadakan serangan balik ke markas-markas pemuda. Hal ini membuat para pemuda marah.
Suatu hari, Otto mendapat telegram dari Pemerintah Pusat. Isinya bahwa Pemerintah pusat memberi perintah pada Otto untuk segera datang ke Jakarta. Kerabat dekat menyarankan Oto untuk berhati-hati dan jangan mengindahkan perintah tersebut. Mereka khawatir itu hanyalah perintah palsu. Lagipula, situasi di Bandung masih genting karena terjadi penculikan beberapa pemimpin pemerintahan.
“Ini adalah panggilan tugas. Saya harus pergi. Ini sudah jadi tanggung jawab saya sebagai seorang menteri.” Begitu jawab Otto terhadap kekhawatiran kerabat dekatnya.
Jika sudah ada kemauan, maka tak ada seorang pun yang bisa menghentikannya. Maka berangkatlah Otto ke Jakarta. Selain di Bandung, Otto punya rumah di Jalan Kapas no.2 Jakarta. Sebelum datang memenuhi panggilan Pemerintah Pusat, ia singgah terlebih dulu ke rumahnya di Jakarta. Tanggal 10 Desember, ketika ia berada di rumahnya itu, ia didatangi empat orang laki-laki tak dikenal. Dengan kasar mereka mendobrak pintu rumah Otto.
“Apa-apaan ini?! Siapa kalian?! Berani-beraninya masuk rumah orang tanpa izin!!” teriak Otto dengan nada tinggi ketika empat laki-laki itu berputar mengelilingi Otto.
“Kami datang untuk membawamu pergi !” Jawab salah satu dari mereka sambil tersenyum menyeringai. Di tangannya terdapat sejenis senjata tajam.
“Lancang sekali mulutmu!” pekik Otto geram. Empat orang itu menyerang Otto. Otto menghindar dan balik menyerang. Sebuah pukulan mendarat di bagian belakang kepalanya. Otto tersungkur dan jatuh tak sadarkan diri.
Beberapa hari setelah terjadinya peristiwa misterius itu, Raden Nyi Soekirah mendapat surat dari suaminya bahwa ia tengah mendapat cobaan berupa fitnah. Nyi Soekirah begitu pilu hatinya. Hari-harinya menjadi suram, terlebih karena ia sedang mengandung anak bungsunya. Surat itulah menjadi surat terakhir yang diterima olehnya.
Otto telah diculik oleh anggota Laskar Hitam Tangerang. Otto mendekam di rumah tahanan Tanah Tinggi selama lima hari dari tanggal 10 sampai tanggal 15 Desember. Dari tahanan Tanah Tinggi ia dipindahkan ke rumah tahanan di Mauk (sekarang, kantor Pegadaian Mauk).
Dan tibalah hari naas itu. Tanggal 20 Desember, Otto Iskandardinata atau Otista menemui ajalnya. Ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah dieksekusi oleh anggota Laskar Hitam yang beranggotakan Mutjiba dari Teluknaga, Usman dari Kampung Bayur, Mukri, mantri kehutanan Mauk, dan Enjon dari Sepatan. Pesisir pantai Mauk menjadi saksi bisu kematiannya yang tragis. Tempat kematiannya lebih tepatnya di Blok Toa Sia, Kampung Pelelangan, Desa Ketapang, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang.
Tak ada yang mengetahui pasti penyebab diculik dan dibunuhnya Otto di pantai Mauk. Dari beberapa pendapat yang ada, salah satunya adalah karena Otto dianggap gagal melakukan pendekatan terhadap tentara Jepang untuk mengambil alih perlengkapan senjatanya, juga karena terlalu dekat dan percayanya pada kekuatan militer Jepang, sehingga dianggap berpihak pada Jepang. Ada juga yang berpendapat bahwa kematiannya disebabkan karena seseorang atau sekelompok orang yang dendam karena langkah dan ucapannya yang tajam tanpa pikir panjang.
Sampai sekarang pun, jenazahnya tak pernah ditemukan. Tak ada yang tahu dibuang kemana. Tanggal 10 November1973, pemerintah menganugrahkan gelar Pahlawan Nasional pada Otto Iskandardinata. Untuk menghormati dan mengenang jasa-jasanya, Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang mendirikan monumen Otista di tengah-tengah pertigaan Mauk. Monumen tersebut telah mengalami dua kali perubahan bentuk (1990 dan 1996). Monumen yang diresmikan oleh Bupati Tangerang H. Muchdi pada tahun 1966 ini, didirikan dengan tujuan untuk mengenang semangat perjuangan Otto Iskandardinata yang tak pernah padam. Namanya pun diabadikan menjadi nama jalan di beberapa tempat,. Diantaranya di wilayah Mauk, Bandung, dan Jakarta. Tidaklah sulit mengenali pahlawan Otto Iskandardinata, karena wajahnya dapat kita lihat pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia tahun 2004.
Cerita ini merupakan kisah nyata, karena melibatkan para pelaku sejarah. Sebagai generasi penerus kemerdekaan, kita bisa memetik hikmah dan keteladanan dari seorang Otto Iskandardinata. Otto Iskandardinata adalah pejuang yang gagah berani. Otto yang dikenal sebagai politisi, jurnalias dan pendidik ini, adalah seorang penegak keadilan yang tak mau berkompromi dengan ketidakjujuran dan kebatilan. Dengan semangat patriotismenya, ia rela menghadang maut karena memenuhi panggilan tugas dari Pemerintah Pusat saat itu. Meski sebenarnya, Pemerintah Pusat tak pernah memanggilnya ke Jakarta. Ia tak takut mati demi pengabdiannya kepada Tanah Air Indonesia.
 ==================  AYOOOO  JELAJAH  INDONESIA  =============







No comments:

Post a Comment