OTTO dibesarkan dalam suasana
keluarga yang berekonomi lebih dibandingkan dengan anak-anak lain di
kampungnya. Maklum, ayahnya adalah seorng bangsawan Sunda yang cukup terpandang
di Bandung. Umur Otto pun sudah menginjak enam tahun. Maka, sudah saatnya ia mengenyam
pendidikan di bangku sekolah. Oleh ayahnya, Otto disekolahkan di HIS (Hollandsh
Inlandsche School), Karang Pawulang Bandung. Sekolah setingkat SD yang hanya
menerima anak-anak bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, dan pegawai negeri.
Suatu
hari, beberapa bulan sebelum Otto menamatkan pendidikannya di HIS. “Hei, Otto,
cepat kemari. Gurunya sebentar lagi datang,” seru seorang temannya sambil
melambaikan tangan dari balik jendela kelas. Otto kemudian duduk di kursinya.
Ia membaca-baca buku sebentar. Beberapa saat kemudian sang guru yang dinanti
itu pun datang.
“Anak-anak,
hari ini kita akan membahas tentang cita-cita. Sekarang Bapak mau tanya, apa
cita-cita kalian setelah besar nanti?” Tanya sang guru seraya mengambil kapur
dan menuliskan kata ‘Cita-cita’ di atas papan tulis dengan bahasa Belanda.
“Saya
mau jadi dokter,” sahut salah seorang murid.
“Kalau
saya mau jadi insinyur saja,” celetuk temannya.
“Saya
mau jadi saudagar atau pengusaha biar banyak duit,” timpal yang lainnya.
Otto
diam sejenak, ia tak memberi jawaban apa pun. Meski demikian, bukan berarti ia
tidak punya cita-cita. Melihat Otto terdiam, gurunya pun bertanya. “Otto, kamu
ingin jadi apa?”
“Saya
ingin menjadi guru seperti Bapak. Saya ingin sekali membebaskan bangsa ini dari
kebodohan hingga menjadi manusia-manusia cerdas dan terlepas dari ketertindasan
dan kemiskinan,” jawab Otto lantang.
***HARI
itu, langkah Otto terhenti di sebuah bangunan kokoh yang serba putih. Matanya
menatap lekat jendela-jendela besar setinggi pintu yang terpasang di
dinding-dindingnya. Lengkap dengan tiang-tiang tebal menjulang sebagai
penyangga dan pemercantik bangunan itu. Satu dua pohon mahoni dan palem
merindangi halamannya yang luas. “Inilah sekolahku selanjutnya,” gumam Otto.
Otto
melanjutkan langkahnya memasuki pintu utama bangunan itu. Untuk mewujudkan
cita-citanya menjadi seorang guru, Otto bersekolah di Kweekschool Onder-bouw
Bandung. Sekolah pendidikan guru bagian pertama. Anak-anak yang belajar di sana
diwajibkan untuk berasrama di sekolah itu, supaya mereka lebih terpantau oleh
guru-gurunya.
Mungkin
karena sifat agresif dan pemberani yang sudah melekat dalam jiwanya, maka tak
jarang buah dari sifat-sifat yang dimiliki Otto tersebut sering dianggap
sebagai tindakan melawan atau tak patuh kepada aturan. Karena itu, ia acapkali
mendapat hukuman dari pimpinan asrama lantaran sifat dan keberaniannya itu.
“Hei,
Otto! Kamu dihukum atas perbuatanmu tadi! Kamu dilarang keluar kamar sampai
besok pagi,” ucap wakil pimpinan asrama, setengah membentak kepada Otto.
“Huh,
dasar anak inlander! Sudah berkali-kali ia
membuat ulah. Anak pribumi yang nakal dan tak patuh itu memang pantas
mendapatkan hukuman,” desis seorang pemuda Belanda dengan kesalnya, yang tak
lain adalah pimpinan asrama.
Setamat
dari sekolah HIS, Otto pindah ke Purworejo, Jawa Tengah. Ia pergi kesana untuk
memantapkan studinya sebagai calon guru di sekolah HKS (Hogore Kweekschool),
tempat pendidikan guru tingkat atas. Di sana, ia kembali tinggal di asrama.
Otto, pemuda yang gemar membaca. Tulisan apapun dibacanya, termasuk bacaan yang
berkaitan dengan perkembangan tanah airnya yang masih dalam jajahan Belanda.
“Kau
tahu, tadi pimpinan asrama mengumumkan suatu aturan tentang larangan tidak
dibolehkannya kita, murid-murid HKS untuk membaca surat kabar karangan Douwes
Dekker,” kata seorang teman sekamar Otto sambil menghempaskan tubuhnya ke atas
pembaringan.
Otto
menghela nafas. “Ya, aku dengar kabar itu. Tapi entahlah, mungkin pimpinan
sekolah tak ingin otak kita sebagai warga pribumi terwarnai oleh pemikiran-pemikiran
Douwes Dekker yang dianggap mengkhawatirkan kedudukan pemerintahan Hindia
Belanda,” kata Otto, sambil membetulkan posisi duduknya.
“Kamu
tahu tidak, kenapa kita dilarang membaca artikel Douwes Dekker?”
“Aku
tidak tahu,” sahut temannya jujur.
“Douwes
Dekker itu terkenal dengan tulisannya yang sangat pedas dan sering mengecam
pemerintah Belanda. Douwes Dekker menaruh empati yang sangat besar atas
penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia yang sudah terlalu lama dijajah
Belanda. Apa yang dilakukannya itu, dinilai oleh Belanda sebagai sebuah
pemberontakan terhadap negaranya sendiri,” lanjut Otto menggebu-gebu.
“Eh,
kamu tahu darimana?” tanya temannya. Ia merasa heran dengan pengetahuan Otto
yang cukup luas itu.
“Ah,
itu hanya perkiraanku saja. Mungkin saja perkiraanku itu benar,” ujar Otto
seenaknya.
Temannya
menguap, perlahan-lahan ia pun mulai tertidur. Melihat itu, Otto pun mengangkat
bantalnya, lalu kembali meneruskan bacaannya pada halaman terakhir surat kabar De Express, Di surat kabar itu,
Otto sering membaca artikel karangan Douwes Dekker secara sembunyi-sembunyi.
Karena jika ketahuan, selain koran itu bisa dirobek, ia juga akan mendapat
hukuman.
Lima
tahun berlalu sudah. Otto telah lulus dari HKS tahun 1920. Di umur 23 tahun, ia
mulai menyebarkan kembali ilmunya di HIS Banjarnegara. Di sana, ia menjadi
pengajar sekaligus pendidik yang penuh disiplin dan tanggung jawab. Seperti
cita-citanya dulu, ia menginginkan murid-muridnya menjadi generasi yang
berilmu. Dengan bekal pengetahuan yang ia berikan, ia berharap
murid-muridnya memiliki rasa tanggung jawab pada negerinya, dan semakin timbul
kesadaran mereka untuk segera bangkit merebut kebebasan yang sudah menjadi hak
dasar manusia dari tangan penjajah Belanda.
Suatu
ketika, ada seorang guru penuh wibawa masuk ke dalam kelas tujuh. Sebelum ia
mengajar, ia menyuruh seorang muridnya untuk pindah duduk ke belakang.
“Soekirah,
selama pelajaran saya, kamu duduk di belakang untuk sementara waktu,” ucap sang
guru, setiap kali ia mengajar di kelas tujuh tersebut. Sang murid tak berani
membantah. Ia lantas patuh mengikuti perintah gurunya, meski benaknya penuh
dengan pertanyaan: “Apa salahku, hingga harus selalu disuruh duduk di belakang
setiap diajar olehnya?”
Di
pertengahan pelajaran, sang guru membuka koran yang dibawanya dan pura-pura
membacanya. Tak ada yang tahu, bahwa ada bolong kecil di koran itu. Dari lubang
itu, sang guru mencuri pandang wajah muridnya yang bernama Soekirah tadi. Ya,
sang guru menaksir muridnya. Lucunya, guru itu tak lain adalah Otto
Iskandardinata, sosok berwibawa dengan perawakan tinggi besar berkulit coklat.
Di HIS Banjarnegara itulah, Allah mempertemukan Otto dengan jodohnya, Raden Nyi
Soekirah. Yang akhirnya, pada tahun 1923 mereka pun melangsungkan pernikahan.
Pada
tahun 1921, Otto dipindahkan mengajar ke HIS Bandung, kota dimana ia melewatkan
masa kecilnya dulu. Disanalah, ia mulai memasuki ranah politik dengan aktif
menjadi wakil ketua organisasi Budi Utomo cabang Bandung. Otto tak lama di Bandung.
Tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 1924, ia mendapat tugas mengajar di HIS
pekalongan. Maka, dengan semangat jiwa pendidiknya, ia bersama istrinya pindah
ke sana. Di Pekalongan pun, Otto menjadi wakil ketua organisasi Budi Utomo
cabang Pekalongan.
Lantaran
Otto adalah pribadi yang suka berterus terang dan terbuka, ia berani membongkar
sebuah kasus penipuan terhadap rakyat pekalongan yang dilakukan oleh pengusaha
Belanda. Kasus tersebut bernama “Bendungan Kemuning”. Keberaniannya membuka
kasus tersebut, membuat residen atau pimpinan daerah Pekalongan marah.
Akibatnya, Otto masuk dalam daftar hitam orang-orang yang diancam hukum buang.
Konflik dengan sang residen berakhir dengan dipindahkannya residen tersebut ke
daerah lain. Otto pun dipindahkan ke Jakarta, yang pada waktu itu bernama
Batavia. Sikap-sikap Otto membuat gelisah pemerintah Hindia Belanda. Karena
alasan itulah Otto dipindahkan ke Batavia.
Di
Batavia, ia kemudian mengajar di HIS Muhammadiyah. Disana, mulai bulan Juli
1928, ia memasuki organisasi baru dengan langsung menduduki jabatan sebagai
Sekretaris Pengurus Besar Organisasi Paguyuban Pasundan cabang Batavia. Otto
yang berdarah Sunda sangat berpartisipasi dalam organisasi kebudayaan tersebut.
Paguyuban Pasundan tak lain merupakan orsanisasi yang didirikan kebanyakan oleh
orang-orang Sunda. Tujuan utamanya adalah memajukan kehidupan orang-orang Sunda
khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Organisasi itu didirikan atas
keyakinan bahwa suatu saat Indonesia pasti merdeka. Bulan Desember pada tahun
yang sama, diadakan rapat di Bandung. Otto terpilih menjadi Ketua Pengurus
Besar Paguyuban Pasundan.
“Menjadi
kebanggaan tersendiri bagi kita, masyarakat Sunda dengan adanya ketua yang
terampil seperti Pak Otto sebagai penggerak dan penerus Paguyuban Pasundan,”
Siang itu, seorang pemuda Sunda tersenyum sambil bergumam pelan. Matanya lurus
menatapSipatahunan di tangannya, sebuah surat kabar
terbitan Paguyuban Pasundan.
“Ya,
Paguyuban Pasundan semakin diminati dan mengalami kemajuan yang sangat pesat
setelah dipimpin oleh Pak Otto.” timpal teman disampingnnya yang juga turut
membacaSipatahunan.
“Tahun
1941 ini, tercatat sudah 51 unit sekolah yang tersebar di 36 daerah di Jawa
Barat yang didirikan oleh Paguyuban Pasundan. Bukankah ini prestasi yang luar
biasa?” lanjut pemuda Sunda tadi berapi-api. Ia melipat kembali surat kabar dan
meletakannya di atas meja, lalu diseruputnya kopi panas dihadapannya.
“Yah…,
itu diantaranya karena Pemerintah kolonial Belanda sedikit sekali mendirikan
sekolah. Selain itu, Paguyuban Pasundan mengerti betul bahwa untuk memajukan
rakyat, diantara cara yang paling pas adalah memajukan pendidikannya pula.”
desis teman si pemuda yang masih asyik membaca surat kabarnya. “Kiranya Pak
Otto begitu menjiwai peranannya dalam pengembangan bidang pendidikan karena ia
sendiripun berprofesi guru dulunya.” lanjutnya.
“Di
bidang sosial, Paguyuban Pasundan membantu para penduduk yang terkena bencana
alam, seperti banjir, kebakaran dan masyarakat miskin yang kelaparan. Bahkan,
kudengar, Pak Otto memberi bantuan berupa sembako gratis untuk siapa saja yang
membutuhkan tanpa mengharap imbalan.” si pemuda berdecak kecil. Teman di
sampingnya spontan menjentikkan jari. “Dia figur pemimpin dermawan yang patut
dicontoh!” pekiknya.
“Ya,
dan kukira, Raden Nyi Soekirah, istrinya Pak Otto, harus pandai-pandai mengatur
keuangan untuk menghadapi sifat murah hati suaminya.” Si pemuda tersenyum,
benaknya tengah dipenuhi sosok bersahaja itu.
Otto
dikaruniai 12 orang anak. Meski ia sibuk mengurusi organisasi Paguyuban
Pasundan, dan menjadi anggota parlemen di pemerintahan Hindia Belanda, namun
tak mengurangi perhatiannya kepada anak-anaknya. Jika salah seorang anaknya
berulang tahun, misalnya, ia tak lupa mengajak anaknya jalan-jalan atau pergi
ke toko untuk membeli kado.
Dengan
12 anaknya itu, Otto menempati rumah yang cukup besar dan banyak kamar. Namun,
kamar mandinya hanya ada satu. Ketika pagi menjelang anak-anaknya mengantri di
depan kamar mandi menunggu ayah mereka yang sudah masuk lebih dahulu. Jika sang
ayah sudah selesai dan membuka pintu kamar mandi, ia akan berteriak “Indonesia
Merdeka!” dengan kepalan tangan yang diangkat. Jika anak-anaknya diam saja, ia
akan mengulanginya lagi sampai anak-anaknya meniru ucapannya. “Merdeka!”.
Dengan kebiasaan seperti itu, Otto berusaha menanamkan rasa nasionalisme pada
keluarga, terutama pada anak-anaknya.
Suatu
ketika Otto berkata kepada anak-anak lelakinya. “Anak-anakku, lekatkanlah
kata-kata ayah di hati kalian. Ingatlah, bahwa kita punya tiga Ibu yang harus
kita cintai.” Suaranya yang tegas berhenti. Ia memandang anaknya satu per satu,
kemudian melanjutkan perkataannya. “Ibu yang pertama adalah ibu kandung. Ibu
yang kedua adalah ibu dari anak-anak kalian nanti. Ibu yang ketiga adalah ibu
pertiwi. Ibu yang pertama harus rela ditinggalkan demi kepentingan ibu kedua.
Dan ibu kedua pun harus rela ditinggalkan demi kepentingn ibu ketiga.”
Pada
rapat sidang volkraad (parlemen), Otto dikenal suka mengecam Pemerintah Hindia
Belanda. Ia berani berterus terang dalam mengemukakan pendapatnya tentang
ketidakadilan dan sindiran pada Pemerintah Hindia Belanda. Tak jarang, Otto dan
pihak Belanda saling berdebat dalam rapat. Otto cerdik dalam membabat
lawan-lawannya dengan gebrakan mautnya. Tak heran bila para penjajah Belanda
itu akhirnya sering naik pitam. Karena keberaniannya kepada Pemerintah Hindia
Belanda itulah, ia dijuluki “Si Jalak Harupat”. Julukan ini, bermakna seperti
ayam jago yang keras dan tajam menghantam lawan, kencang bila berkokok, dan
selalu menang bila diadu.
Pada
suatu kesempatan dalam rapat, Otto meluncurkan ucapan tajamnya pada para
penjajah Belanda. “Seperti orang beriman percaya akan adanya Allah, begitulah
juga saya percaya akan datangnya kemerdekaan bagi semua negara terjajah, juga
bagi Indonesia. Cara rakyat memperoleh kemerdekaan dengan atau tanpa kekerasan
itu bergantung kepada negara Belanda sendiri. Akan tetapi, saya percaya Tuan
Ketua, bahwa bangsa Tuan yang dikenal sebagai bangsa tenang berpikir akan
mampu memilih antara dua kemungkinan ini. Mengundurkan diri atau diusir.”
Pada
tanggal 17 Agustus 1945, dengan rahmat dari Allah SWT, Indonesia berhasil
meraih kemerdekaan dengan usaha dan kerja keras dari seluruh rakyatnya dari
penjajahan Jepang. Otto Iskandardinata tak hanya berperan di organisasi Budi
Utomo, anggota Parlemen dan Paguyuban Pasundan saja. Ia pun terpilih untuk
mengikuti sidang PPKI, pada 19 Agustus 1945. Ia spontan memberikan suaranya
untuk mencalonkan Bung Karno sebagai presiden pertama, dan Bung Hatta sebagai
wakil presiden Indonesia di awal kemerdekaan waktu itu. Semua yang menghadiri
sidang PPKI menyetujui usulannya.
Otto
mendapat amanat menjadi Menteri Keamanan Pertama yang mengurusi masalah-masalah
penting di awal kemerdekaan. Ketika itu, penjajah Jepang masih berada di tanah
air. Para pemuda Indonesia ingin merebut senjata dari orang-orang Jepang.
Karena di awal kemerdekaan, Indonesia belum mempunyai jumlah senjata yang
banyak untuk berjaga-jaga kemungkinan adanya penyerangan dari luar. Rencana
perebutan itu dilakukan oleh para pemuda. Namun gagal, dan hanya sedikit sekali
yang berhasil. Jepang enggan menyerahkan senjatanya karena mereka mendapat
amanat dari Sekutu untuk tidak menyerahkan senjatanya dan tetap berada di
Indonesia sampai sekutu datang.
Para
pemuda meminta Otto untuk menghubungi pihak Jepang agar menyerahkan
senjata-senjatanya pada para pemuda. Akhirnya Otto mendatangi Jenderal Mabuchi,
dan mengutarakan keinginan para pemuda. Hasil pembicaraan Otto dengan pihak
Jepang tidak memuaskan para pemuda. Mereka sudah tidak sabar dengan proses yang
berjalan lambat. Perampasan senjata pun terus dilakukan oleh pemuda. Jepang tak
tinggal diam. Mereka pun mengadakan serangan balik ke markas-markas pemuda. Hal
ini membuat para pemuda marah.
Suatu
hari, Otto mendapat telegram dari Pemerintah Pusat. Isinya bahwa Pemerintah
pusat memberi perintah pada Otto untuk segera datang ke Jakarta. Kerabat dekat
menyarankan Oto untuk berhati-hati dan jangan mengindahkan perintah tersebut.
Mereka khawatir itu hanyalah perintah palsu. Lagipula, situasi di Bandung masih
genting karena terjadi penculikan beberapa pemimpin pemerintahan.
“Ini
adalah panggilan tugas. Saya harus pergi. Ini sudah jadi tanggung jawab saya
sebagai seorang menteri.” Begitu jawab Otto terhadap kekhawatiran kerabat
dekatnya.
Jika
sudah ada kemauan, maka tak ada seorang pun yang bisa menghentikannya. Maka
berangkatlah Otto ke Jakarta. Selain di Bandung, Otto punya rumah di Jalan
Kapas no.2 Jakarta. Sebelum datang memenuhi panggilan Pemerintah Pusat, ia
singgah terlebih dulu ke rumahnya di Jakarta. Tanggal 10 Desember, ketika ia
berada di rumahnya itu, ia didatangi empat orang laki-laki tak dikenal. Dengan
kasar mereka mendobrak pintu rumah Otto.
“Apa-apaan
ini?! Siapa kalian?! Berani-beraninya masuk rumah orang tanpa izin!!” teriak Otto
dengan nada tinggi ketika empat laki-laki itu berputar mengelilingi Otto.
“Kami
datang untuk membawamu pergi !” Jawab salah satu dari mereka sambil tersenyum
menyeringai. Di tangannya terdapat sejenis senjata tajam.
“Lancang
sekali mulutmu!” pekik Otto geram. Empat orang itu menyerang Otto. Otto
menghindar dan balik menyerang. Sebuah pukulan mendarat di bagian belakang
kepalanya. Otto tersungkur dan jatuh tak sadarkan diri.
Beberapa
hari setelah terjadinya peristiwa misterius itu, Raden Nyi Soekirah mendapat
surat dari suaminya bahwa ia tengah mendapat cobaan berupa fitnah. Nyi Soekirah
begitu pilu hatinya. Hari-harinya menjadi suram, terlebih karena ia sedang
mengandung anak bungsunya. Surat itulah menjadi surat terakhir yang diterima
olehnya.
Otto
telah diculik oleh anggota Laskar Hitam Tangerang. Otto mendekam di rumah
tahanan Tanah Tinggi selama lima hari dari tanggal 10 sampai tanggal 15
Desember. Dari tahanan Tanah Tinggi ia dipindahkan ke rumah tahanan di Mauk (sekarang,
kantor Pegadaian Mauk).
Dan
tibalah hari naas itu. Tanggal 20 Desember, Otto Iskandardinata atau Otista
menemui ajalnya. Ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah dieksekusi oleh
anggota Laskar Hitam yang beranggotakan Mutjiba dari Teluknaga, Usman dari
Kampung Bayur, Mukri, mantri kehutanan Mauk, dan Enjon dari Sepatan. Pesisir
pantai Mauk menjadi saksi bisu kematiannya yang tragis. Tempat kematiannya
lebih tepatnya di Blok Toa Sia, Kampung Pelelangan, Desa Ketapang, Kecamatan
Mauk, Kabupaten Tangerang.
Tak
ada yang mengetahui pasti penyebab diculik dan dibunuhnya Otto di pantai Mauk.
Dari beberapa pendapat yang ada, salah satunya adalah karena Otto dianggap
gagal melakukan pendekatan terhadap tentara Jepang untuk mengambil alih
perlengkapan senjatanya, juga karena terlalu dekat dan percayanya pada kekuatan
militer Jepang, sehingga dianggap berpihak pada Jepang. Ada juga yang
berpendapat bahwa kematiannya disebabkan karena seseorang atau sekelompok orang
yang dendam karena langkah dan ucapannya yang tajam tanpa pikir panjang.
Sampai
sekarang pun, jenazahnya tak pernah ditemukan. Tak ada yang tahu dibuang
kemana. Tanggal 10 November1973, pemerintah menganugrahkan gelar Pahlawan
Nasional pada Otto Iskandardinata. Untuk menghormati dan mengenang jasa-jasanya,
Pemerintah Daerah Kabupaten Tangerang mendirikan monumen Otista di
tengah-tengah pertigaan Mauk. Monumen tersebut telah mengalami dua kali
perubahan bentuk (1990 dan 1996). Monumen yang diresmikan oleh Bupati Tangerang
H. Muchdi pada tahun 1966 ini, didirikan dengan tujuan untuk mengenang semangat
perjuangan Otto Iskandardinata yang tak pernah padam. Namanya pun diabadikan
menjadi nama jalan di beberapa tempat,. Diantaranya di wilayah Mauk, Bandung,
dan Jakarta. Tidaklah sulit mengenali pahlawan Otto Iskandardinata, karena
wajahnya dapat kita lihat pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia tahun 2004.
Cerita
ini merupakan kisah nyata, karena melibatkan para pelaku sejarah. Sebagai
generasi penerus kemerdekaan, kita bisa memetik hikmah dan keteladanan dari
seorang Otto Iskandardinata. Otto Iskandardinata adalah pejuang yang gagah
berani. Otto yang dikenal sebagai politisi, jurnalias dan pendidik ini, adalah
seorang penegak keadilan yang tak mau berkompromi dengan ketidakjujuran dan
kebatilan. Dengan semangat patriotismenya, ia rela menghadang maut karena
memenuhi panggilan tugas dari Pemerintah Pusat saat itu. Meski sebenarnya,
Pemerintah Pusat tak pernah memanggilnya ke Jakarta. Ia tak takut mati demi
pengabdiannya kepada Tanah Air Indonesia.
================== AYOOOO JELAJAH INDONESIA =============
No comments:
Post a Comment