Kota
Pasuruan adalah sebuah kota
di Provinsi Jawa Timur,
Indonesia.
Kota ini terletak 60 km sebelah tenggara Surabaya,
ibu kota provinsi Jawa Timur dan 355 km sebelah barat laut Denpasar,
Bali.
Seluruh wilayah Kota Pasuruan berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan. Kota Pasuruan berada di
jalur utama pantai utara yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Bali yang
menjadikannya sebagai kota dengan prospek ekonomi yang besar di kawasan
Indonesia bagian timur.
Pasuruan adalah sebuah kota pelabuhan kuno. Pada zaman Kerajaan Airlangga, Pasuruan sudah dikenal dengan sebutan "Paravan" .
Pada masa lalu, daerah ini merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Letak
geografisnya yang strategis menjadikan Pasuruan sebagai pelabuhan transit dan pasar perdagangan antar pulau
serta antar negara. Banyak bangsawan dan saudagar kaya yang menetap di Pasuruan
untuk melakukan perdagangan. Hal ini membuat kemajemukan bangsa dan suku bangsa
di Pasuruan terjalin dengan baik dan damai.
Pasuruan yang dahulu disebut Gembong merupakan daerah yang
cukup lama dikuasai oleh raja-raja Jawa Timur yang beragama Hindu. Pada
dasawarsa pertama abad XVI yang menjadi raja di Gamda (Pasuruan) adalah Pate
Supetak, yang dalam
babad Pasuruan disebutkan sebagai pendiri ibukota Pasuruan.
Menurut kronik Jawa tentang penaklukan oleh Sultan Trenggono
dari Demak, Pasuruan berhasil ditaklukan pada tahun 1545. Sejak saat itu Pasuruan
menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Pada
tahun-tahun berikutnya terjadi perang dengan kerajaan Blambangan yang masih beragama Hindu-Budha. Pada tahun 1601 ibukota
Blambangan dapat direbut oleh Pasuruan.
Pada tahun 1617-1645 yang berkuasa di Pasuruan adalah seorang
Tumenggung dari Kapulungan yakni Kiai Gede Kapoeloengan yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho I. Berikutnya Pasuruan mendapat serangan dari Kertosuro sehingga Pasuruan jatuh dan Kiai
Gedee Kapoeloengan melarikan diri ke Surabaya hingga meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman
Bibis (Surabaya).
Selanjutnya yang menjadi raja adalah putra Kiai Gedee
Dermoyudho I yang bergelar Kiai Gedee Dermoyudho II (1645-1657). Pada tahun 1657 Kiai Gedee Dermoyudho II
mendapat serangan dari Mas
Pekik (Surabaya),
sehingga Kiai Gedee Dermoyudho II meninggal dan dimakamkan di Kampung Dermoyudho, Kelurahan Purworejo, Kota Pasuruan. Mas Pekik memerintah dengan gelar Kiai Dermoyudho (III)
hingga meninggal dunia pada tahun 1671 dan diganti oleh putranya, Kiai
Onggojoyo dari
Surabaya (1671-1686).
Kiai Onggojoyo kemudian harus menyerahkan kekuasaanya kepada Untung Suropati. Untung Suropati adalah seorang budak belian yang berjuang
menentang Belanda, pada saat itu Untung Suropati
sedang berada di Mataram setelah berhasil membunuh Kapten Tack. Untuk menghindari kecurigaan Belanda, pada tanggal 8 Februari 1686, Pangeran Nerangkusuma yang telah mendapat restu dari Amangkurat I (Mataram) memerintahkan Untung Suropati berangkat ke
Pasuruan untuk menjadi adipati (raja) dengan menguasai daerah Pasuruan dan
sekitarnya.
Untung Suropati menjadi raja di Pasuruan dengan gelar Raden Adipati Wironegoro. Selama 20 tahun pemerintahan Suropati (1686-1706)
dipenuhi dengan pertempuran-pertempuran melawan tentara Kompeni Belanda. Namun
demikian dia masih sempat menjalankan pemerintahan dengan baik serta senantiasa
membangkitkan semangat juang pada rakyatnya.
Pemerintah Belanda terus berusaha menumpas perjuangan Untung
Suropati, setelah beberapa kali mengalami kegagalan. Belanda kemudian bekerja
sama dengan putra Kiai Onggojoyo yang juga bernama Onggojoyo untuk menyerang
Untung Suropati. Mendapat serangan dari Onggojoyo yang dibantu oleh tentara
Belanda, Untung Suropati terdesak dan mengalami luka berat hingga meninggal
dunia (1706). Belum diketahui secara pasti dimana letak makam Untung Suropati,
namun dapat ditemui sebuah petilasan berupa gua tempat persembunyiannya pada
saat dikejar oleh tentara Belanda di Pedukuhan Mancilan, Kota Pasuruan.
Sepeninggal Untung Suropati kendali kerajaan dilanjutkan oleh
putranya yang bernama Rakhmad yang meneruskan perjuangan sampai ke timur dan
akhirnya gugur di medan pertempuran (1707).
Onggojoyo yang bergelar Dermoyudho (IV) kemudian menjadi
Adipati Pasuruan (1707). Setelah beberapa kali berganti pimpinan pada tahun
1743 Pasuruan dikuasai oleh Raden Ario Wironegoro. Pada saat Raden Ario Wironegoro menjadi Adipati di Pasuruan, yang
menjadi patihnya adalah Kiai Ngabai Wongsonegoro.
Suatu ketika Belanda berhasil membujuk Patih Kiai Ngabai
Wongsonegoro untuk menggulingkan pemerintahan Raden Ario Wironegoro. Raden Ario
dapat meloloskan diri dan melarikan diri ke Malang. Sejak saat itu seluruh kekuasaan di Pasuruan dipegang oleh Belanda.
Belanda menganggap Pasuruan sebagai kota bandar yang cukup penting sehingga
menjadikannya sebagai ibukota karesidenan dengan wilayah: Kabupaten Malang, Kabupaten
Probolinggo, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten
Bangil.
Karena jasanya terhadap Belanda, Kiai Ngabai Wongsonegoro
diangkat menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitinegoro. Kiai Ngabai Wongsonegoro juga diberi hadiah seorang putri dari selir
Kanjeng Susuhunan Pakubuono II dari Kertosuro yang bernama Raden Ayu Berie yang
merupakan keturunan dari Sunan Ampel, Surabaya. Pada saat dihadiahkan, Raden Ayu Berie dalam
keadaan hamil, dia kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang bernama Raden
Groedo. Saat Kiai
Ngabai Wongsonegoro meninggal dunia, Raden Groedo yang masih berusia 11 tahun
menggantikan kedudukannya menjadi Bupati Pasuruan dengan gelar Kiai Adipati Nitiadiningrat (Berdasarkan Resolusi tanggal 27 Juli 1751).
Adipati Nitiadiningrat menjadi Bupati di Pasuruan selama 48
tahun (hingga 8 November 1799). Adipati
Nitiadiningrat (I) dikenal sebagai Bupati yang cakap, teguh pendirian, setia
kepada rakyatnya, namun pandai mengambil hati Pemerintah Belanda. Karya
besarnya antara lain mendirikan Masjid Agung Al Anwar bersama-sama Kiai
Hasan Sanusi (Mbah
Slagah).
Raden Beji Notokoesoemo menjadi bupati menggantikan ayahnya
sesuai Besluit tanggal 28 Februari 1800 dengan gelar Toemenggoeng Nitiadiningrat II. Pada tahun 1809, Toemenggoeng
Nitiadiningrat II digantikan oleh putranya yakni Raden Pandjie Brongtokoesoemo dengan gelar Raden Adipati
Nitiadiningrat III. Raden Adipati Nitiadiningrat III meninggal pada tanggal 30 Januari 1833 dan dimakamkan di belakang Masjid Al
Anwar. Penggantinya adalah Raden Amoen Raden Tumenggung Ario Notokoesoemo
dengan gelar Raden Tumenggung Ario Nitiadiningrat IV yang meninggal dunia tanggal 20 Juli 1887. Kiai Nitiadiningrat I sampai Kiai
Nitiadiningrat IV lebih dikenal oleh masyarakat Pasuruan dengan sebutan Mbah
Surga-Surgi.
Pemerintahan Pasuruan sudah ada sejak Kiai
Dermoyudho I hingga
dibentuknya Residensi Pasuruan pada tanggal 1 Januari 1901. Sedangkan Kotapraja (Gementee)
Pasuruan terbentuk berdasarkan Staatblat 1918 No.320 dengan nama Stads Gemeente
Van Pasoeroean pada tanggal 20 Juni 1918.
Sejak tanggal 14 Agustus 1950 dinyatakan Kotamadya Pasuruan
sebagai daerah otonom yang terdiri dari desa dalam 1 kecamatan. Pada tanggal 21 Desember 1982 Kotamadya Pasuruan diperluas menjadi
3 kecamatan dengan 19 kelurahan dan 15 desa. Pada tanggal 12 Januari 2002 terjadi perubahan status desa
menjadi kelurahan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2002, dengan
demikian wilayah Kota Pasuruan terbagi menjadi 34 kelurahan. Berdasarkan UU
no.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah terjadi perubahan nama dari kotamadya
menjadi kota maka Kotamadya Pasuruan berubah menjadi Kota Pasuruan.
Saya beberpa ke pasuruan tapi ingin upload foto ini
aja.....asyik kayaknya.
=========== AYOOOO JELAJAH INDONESIA ========
No comments:
Post a Comment