Kerajaan
Sanggau adalah sebuah kerajaan melayu yang berdiri sejak abad ke-4 M yang
terletak di kabupaten sanggau, Kalimantan
barat, Indonesia. Penyebutan “Sanggau" sendiri berasal dari nama
tanaman yang tumbuh di tepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni
Sungai Sekayam. Sungai Sekayam merupakan
tempat merapatnya rombongan yang dipimpin Dara Nante, seorang
perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat mencari suaminya yang bernama Babai Cinga. Namun ada
juga pendapat yang meyakini bahwa nama “Sanggau" diambil dari nama Suku Dayak
Sanggau, sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Baba Cinga.
Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu dengan
orang-orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih Bardat dan Patih Bangi. Rombongan Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha
menemukan sebuah tempat yang bemama Tampun Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu
bergabung dan bersama-sama mengarungi Sungai Sekayam. Ditengah
perjalanan, ternyata di aliran Sungai Sekayam terdapat
dua cabang anak sungai. Rombongan besar ini kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang
dikenal dengan nama Sungai Entabai. Temyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante dan Suku Dayak
Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai Entabai.
Berkah bagi Dara Nante karena di
tempat itulah ia dapat menemukan Babai Cinga. Tampun Juah
merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya suku-suku
bangsa Dayak
dari berbagai klan yang bermigrasi dari banyak daerah asal. Setelah beberapa
saat menetap di Tampun Juah, rombongan Patih Bardat dan Patih Bangi memutuskan
untuk meneruskan perjalanannya menuju hulu Sungai Kapuas.
Kelak, rombongan Singa Patih Bardat menurunkan Suku Kematu, Benawas, Sekadau,
dan Melawang. Sedangkan
rombongan Patih Bangi adalah leluhur
Suku Dayak Melawang yang
menurunkan raja-raja Sekadau.
Dara Nante tidak menetap
selamanya di Tampun Juah karena Dara Nante memutuskan
untuk pulang ke Sukadana dan kembali menyusuri Sungai Sekayam. Namun,
ditengah perjalanan, tepatnya disebuah tempat yang dikenal dengan nama Labai Lawai, rombongan Dara Nante menghentikan
perjalanannya dan membangun suatu kerajaan kecil ditempat itu, yang kemudian
dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau.[3]
Rombongan Dara Nante sendiri
sebelumnya pernah singgah di Labai Lawai dalam
perjalanan pertama mereka ketika mencari Babai Cinga.
Hingga kini, di Labai Lawai masih dapat
ditemukan situs sejarah peninggalan Kerajaan Sanggau, yakni berupa batu~batu
keramat yang dinamakan Batu Dara Nante dan Batu Babai Cinga.[3]
Batu-batu itu menancap ditanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat
dengan ketinggian sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat masih
melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut dengan
memberikan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut.
Keturunan Kerajaan Sanggau
dimasa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu didirikan pertama
kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan
sebagai penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Untuk itu, maka pada tanggal 26
Juli 2009,
perwakilan tiga etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu,
Dayak,
dan tionghoa,
menyepakati bahwa setiap tanggal 7 April diperingati sebagai hari jadi Kota Sanggau, meskipun hal
ini masih sebatas pendeklarasian dan belum sebagai ketetapan pemerintah.
Sedangkan upaya untuk mendapatkan peresmian dari pemerintah masih diperjuangkan
sampai saat ini.
Kerajaan Sanggau mengalami
masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan
pucuk pimpinan Kerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang bernama Dakkudak. Namun, Dakkudak ternyata tidak
mampu menjalankan amanat Dara Nante dengan
semestinya. Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya dengan baik. Akibat
kondisi yang kian terjepit dan tidak menguntungkan, Dakkudak kemudian memilih
angkat kaki dari Kerajaan Sanggau dan pergi menuju ke daerah Semboja dan Segarong. Kepergian Dakkudak membuat roda
pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat.[1]
Kelanjutan riwayat Kerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak belum diketahui
dengan pasti, namun, pada tahun 1485 M, seorang perempuan yang masih memiliki garis keturunan
dengan Dara Nante, bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), dinobatkan
sebagai penguasa Sanggau. Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah
bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke Mengkiang, sebuah tempat
yang terletak di muara Sungai Sekayam. Dalam
menjalankan pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu
oleh suaminya yang bernama Nurul Kamal atau Abdulrahman,
keturunan Kyai Kerang dari Banten. Meski Nurul Kamal diduga kuat
adalah seorang muslim, namun belum diketahui apakah Kerajaan Sanggau sejak masa
pemerintahan Dayang Mas Ratna juga
telah bercorak Islam. Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih
seorang perempuan, bernama Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1528-1569 M). Dalam menjalankan
pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama
Abang Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu.
Selain itu, masih pada era pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan Sanggau telah
menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan
Sintang yang saat itu dipimpin oleh Raja Juhair atau Jubair.
Jadi, dalam hal ini sebenarnya masih ada hubungan darah antara raja-raja
Kerajaan Sanggau dengan raja-raja Kerajaan
Sintang.
Selanjutnya, Kerajaan Sanggau
dipimpin oleh seorang raja bernama Abang Gani dengan gelar Pangeran
Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614
M). Pada era ini, Kerajaan Sanggau terlibat perkara dengan Kerajaan Tanjungpura. Kasus ini bermula
dari perkawinan puteri Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan
seorang penguasa dari Kerajaan Matan. Namun,
beberapa tahun setelah perkawinan itu, terdengar kabar bahwa Raja Matan telah
menikah lagi. Oleh karena itu, pihak Kerajaan Sanggau bermaksud untuk menjemput
Dayang Seri Gemala dari
Kerajaan Matan. Melalui berbagai pemndingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan
Sanggau, akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil
dipulangkan kembali ke Sanggau secara damai. Warga Kerajaan Sanggau menyambut
kepulangan sang puteri dengan suka-cita.
Setelah Raja Abang Gani wafat pada
tahun 1614
M, tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau diserahkan kepada putra mahkota yang
bemama Abang Basun dengan gelar Pangeran
Mangkubumi Pakunegara (1614- 1658
M). Pemerintahan Pangeran Mangkubumi Pakunegara mendapat dukungan penuh
dari saudaranya, bernama Abang Abon dengan gelar Pangeran
Sumabaya, dan sepupunya yang bernama Abang Guneng.
Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah Pangeran
Mangkubumi Pakunegara adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690 M. Abang Bungsu adalah anak lelaki Pangeran
Mangkubumi Pakunegara dari istri ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Pengangkatan Abang Bungsu menjadi raja dilakukan karena kedua
istri Pangeran Mangkubumi yang lain tidak bisa memberikan anak
laki-laki. Abang Bungsu dinobatkan sebagai Raja Sanggau
dengan gelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara. Memilik nama dan
penyebutan gelar yang disematkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan bahwa
pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam. Dengan demikian, nama
Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi Kesultanan Sanggau, sesuai dengan
pemerintahan khas Islam.
Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan
pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjadi Kota Sanggau. Akan tetapi, masih banyak
keturunan Abang Bungsu yang tetap bertahan di Mengkiang. Konon, Abang Bungsu atau Sultan Mohammad Jamaluddin
pernah berkunjung ke Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Sultan
Mohammad Jamaluddin membawa pulang oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang
diberi nama Bujang Juling, Dara Kuning, dan Dara Hijau.
Pada tahun 1690 M Sultan
Mohammad Jamaluddin mangkat. Tahta Kerajaan Sanggau dijabat oleh anak
sulungnya, bernama Abang Kamaruddin atau Abang Saka bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M). Dalam mengelola pemerintahan, Sultan
Akhmad dibantu oleh adiknya yang bernama Panembahan Ratu Surya Negara. Kedua
putera almarhum Sultan Mohammad Jamaluddin ini saling bekerja sama untuk
memajukan Kesultanan Sanggau. Sultan Akhmad Kamaruddin berperan
sebagai kepala pemerintahan dan menyandang gelar Gusti, sedangkan Panembahan
Ratu Surya Negara, yang
memperoleh gelar Ade, diangkat sebagai penasihat kesultanan sekaligus membawahi
daerah perairan atau kawasan pesisir laut.
Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin menderita
sakit. Ketika Sultan Akhmad Kamaruddin dalam
kondisi lemah karena sakitnya itu, Panembahan Ratu Surya Negara
berkali-kali datang menghadap sang kakak agar tahta pemerintahan Kesultanan
Sanggau diserahkan kepadanya. Awalnya, permintaan itu tidak ditanggapi secara
serius oleh Sultan Akhmad Kamaruddin, namun
karena Panembahan Ratu Surya Negara terus-menerus mendesak, maka
akhimya Sultan menyerahkan tahta kepada sang adik. Pada tahun 1722 M, Panembahan Ratu Surya Negara dinobatkan menjadi Sultan Sanggau
dan bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M). Selain itu, karena sebelum
dinobatkan Panembahan Ratu Surya Negara selalu bertanya kepada kakaknya
kapan ia bisa naik tahta menjadi raja, maka ia mendapat julukan Abang Sebilang
Hari. Pasca wafatnya Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam
aturan suksesi Kesultanan Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan
Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin. Selain itu, kedua belah pihak juga
menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak
keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan
Sultan Zainuddin. Pengganti Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai pemimpin
Kesultanan Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M) dari daerah darat dan bertahta
di Istana Beringin. Pada masa ini, terjalin hubungan
akrab antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Hal ini
dibuktikan dengan pemberian sebuah meriam yang dinamakan “Gentar Alam"
kepada Kesultanan Sanggau dari Sultan Kadriah Pontianak. Sebagai hadiah
balasan, Pangeran Ratu Surya Negara mengirimkan balok-balok kayu belian
yang kini masih tersimpan di Istana Kesultanan Kadriah Pontianak. Hubungan
antara Kesultanan Sanggau dan Kesultanan Kadriah Pontianak mulai retak
pada tahun 1778 M. Penguasa
Kesultanan Kadriah Pontianak saat itu
berambisi melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya. Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil
menduduki wilayah Kesultanan Sanggau sekaligus menguasai jalur perdagangan Sungai Kapuas. Sebagai
legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Kadriah Pontianak mendirikan
benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi yang merupakan pulau
milik Kerajaan Sanggau.
Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta Kesultanan Sanggau kembali
beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Panembahan Mohammad Thahir I Surya
Negara (1762-1785 M). Selanjutnya, Kesultanan Sanggau
dipimpin oleh Pangeran Usman yang bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812). Pada masa pemerintahan Panembahan Usman Paku Negara, Kerajaan
Sanggau menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sekadau melalui ikatan
perkawinan. Ratu Godok, puteri Panembahan Usman Paku Negara, menikah
dengan Raja Sekadau. Disisi lain, pada tahun 1812, terjadi lagi perselisihan antara
Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Kali ini,
Kesultanan Sanggau dapat menghalau serangan dari Kesultanan Kadriah Pontianak. Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk
kekuasaan Kerajaan Sanggau beralih kepada Panembahan Mohammad Ali Surya
Negara (1812-1823) dari Istana Kuta. Era pemerintahan Panembahan
Mohammad Ali Mangku Negara berakhir pada tahun 1823 dan digantikan oleh wakil dari Istana Beringin, yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kerajaan
Sanggau sampai tahun 1828. Pada masa
pemerintahannya, Sultan Ayub menggagas pembangunan Masjid Jami'
Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun [[1826. Selain itu, Sultan Ayub memindahkan pusat pemerintahan
Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk. Saudara Sultan Ayub, bemama Ade Akhmad, naik tahta
menjadi Sultan Sanggau dengan gelar Panembahan Mohammad Kusuma Negara.
Penobatan Ade Akhmad yang notabene masih berasal dari pihak Istana Beringin itu disebabkan karena calon sultan
dari Istana Kuta masih kecil dan belum cukup umur
untuk memimpin Kesultanan Sanggau. Setelah Ade Akhmad atau Panembahan Mohammad
Kusuma Negara wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga Istana Kuta yang naik tahta, yakni Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876). Panembahan Mohammad Thahir II pernah
merumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei. Namun,
tanda batas yang telah dibuat Panembahan Mohammad Thahir II tersebut
kini belum dapat dilacak dan ditemukan.
Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah
Kesultanan Sanggau didatangi bangsa Belanda. Pada
awalnya, kedatangan Belanda disambut
dengan baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau. Belanda
memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon untuk diizinkan menetap di
Sanggau. Permintaan Belanda ini
dikabulkan oleh Panembahan Mohammad Thahir II. Dengan
demikian, Belanda mulai
menanamkan pengaruhnya di wilayah Kesultanan Sanggau. Panembahan Mohammad Thahir II wafat pada
tanggal 23 Maret 1876.
Kedudukannya sebagai Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Haji
Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Sejak saat inilah roda
pemerintahan di Kesultanan Sanggau mulai dipengaruhi oleh hegemoni Belanda, termasuk
dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan kedudukan seorang sultan, serta
berbagai perjanjian yang dilakukan antara pihak Kesultanan Sanggau dengan Belanda. Pada tahun
1877, misalnya,
dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai penyewaan tanah Kesultanan
Sanggau oleh Belanda, yang
ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.W. van
Lansberge (1875-1881) serta pihak Kesultanan Sanggau
yang diwakili oleh Sultan Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh (Mangkubumi),
Pangeran Ratu Mangku Negara (Raja di Semerangkai), Pangeran Mas Paduka Putera
(Raja di Balai Karangan), dan Pangeran Adi Ningrat selaku (Menteri Kesultanan
Sanggau). Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam disewakan
kepada Belanda. Setelah
Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara meninggal dunia pada tahun 1908, tampuk pemerintahan Kesultanan
Sanggau diteruskan oleh Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (dari Istana Kuta) yang berkuasa sampai tahun 1915. Pemangku tahta Kesultanan Sanggau
berikutnya adalah Pangeran Gusti Mohammad Said Paku
Negara (dari Istana Beringin). Era Pangeran Gusti Mohammad Said Paku
Negara berakhir pada tahun 1921 setelah dia
dipensiunkan oleh Belanda. Belanda yang telah
berhasil masuk ke dalam setiap kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau
kemudian menobatkan Panembahan Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin Kesultanan
Sanggau yang selanjutnya. Kekuasaan Panembahan Thahir III Surya Negara bertahan
hingga tahun 1941 dan
digantikan oleh Gusti Mohammad Arif Paku Negara dari pihak
keluarga Istana Beringin.
Pada tahun 1942, Belanda menyerah
kepada Jepang. Sejak
itulah masa pendudukan Jepang di
Indonesia, termasuk di wilayah Kesultanan Sanggau, dimulai. Era kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya
bertahan selama satu tahun karena pada tahun 1942 dia ditangkap dan kemudian dibunuh
oleh tentara Jepang.
Sepeninggal Gusti Mohammad Arif Paku Negara, atas
campur-tangan pemerintah pendudukan Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat
Kesultanan Sanggau. Ade Marhaban Saleh sejatinya juga berasal dari pihak Istana Beringin. Namun, kondisi ini menjadi hal
yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak pemerintah militer Jepang. Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih dari
keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944. Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban
mandat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau pada saat- saat terakhir
pendudukan Jepang di
Indonesia. Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah
tanpa syarat kepada pasukan Sekutu. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan
kemerdekaannya. Namun, pada bulan September 1945, Belanda yang
menjadi bagian dari pemenang Perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan
bermaksud berkuasa lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan
pengaruhnya di Kesultanan Sanggau. Oleh karena itu, Belanda kemudian
mengirim utusannya yang bemama Riekerk untuk menempati posisi sebagai
Asisten Residen diwilayah
Sanggau. Riekerk, yang datang ke Sanggau bersama
pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari
singgasana Kesultanan Sanggau dan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik
Surya Negara sebagai penggantinya. Panembahan Gusti Mohammad Taufik
Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana Kuta. Tahta Panembahan Gusti Mohammad Taufik
Surya Negara bertahan hingga Sanggau diubah menjadi daerah
swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan Gusti Mohammad Taufik
Surya Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir (Basilius,
dalam Pontianak Pos, 3 Oktober 2004). Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima pemerintahan
Swapraja Sanggau kepada M. Th. Dzaman selaku Kepala Daerah Swatantra tingkat II
Sanggau. Sejak saat inilah riwayat Kesultanan Sanggau mengalami kemandegan
seiring perubahan statusnya menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau di Provinsi
Kalimantan Barat.
Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun
lamanya, akhimya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan
Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat
adat semata Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya
Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau Acara agung itu dihadiri oleh beberapa
tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Badarudin dari Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah dariIstana Ismayana, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman
H. Sudin.
Sumber : Wikipedia
============== AYOOOO JELAJAH INDONESIA ==========
No comments:
Post a Comment