Alhamdulilah bisa membawa keluarga ke Istana
ini, 23 September 2017, sudah beberapa kali kesini, tetapi baru ini dengan
keluarga, dan diberi kesempatan bisa masuk istana pagi – pagi jam 07.30, dan di
jelaskan dengan sejelas jelasnya, pengen nulis,…..tapi ternyata sama dengan
wikipedia…..ya udah copy aja….
Kesultanan Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang
didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman
Alkadrie, keturunan Rasulullah dari
Imam Ali ar-Ridha. di daerah muara Sungai Kapuas
yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Ia melakukan dua
pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah
dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar
(Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I, sehingga ia dianugerahi gelar
Pangeran).[2][3]
Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak,
kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan
Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah,
pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan
Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan
balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman
dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.
Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif
Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Pada
tahun 1778,
kolonialis Belanda dari Batavia
memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpalm. Belanda saat
itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan
daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal. Palm kemudian digantikan oleh
Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester
Afdeling I (1779-1784) dengan kedudukan di Pontianak.
Semula, Sultan Syarif Abdurrahman
Alkadrie menolak
tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang
untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai
rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
Pada
tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat
perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan
daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident
het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo
Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak
(Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya
menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd
Plaatselijk Bestuur van Pontianak.
Pada
tahun 1808, Sultan
Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak.
Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Pontianak
menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan
Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda
dan kemudian Kerajaan Inggris sejak tahun 1811.
Setelah
Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak.
Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang
dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’
pada 1821 dan
perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan
jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860.
Anak
tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak
pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat
pada 1872, putra
tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta sebagai beberapa bulan
setelah ayahanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan
yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam
bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.
Pemerintahan
Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif
Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang
dinobatkan sebagai Sultan Pontianak
pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama
Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin
erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa
pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan
dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak.
Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat
yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk
Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya
bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal
swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet,
kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak.
Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik
yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Era
kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara
Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada
tahun 1942. Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan
bersekutu dengan Belanda, Jepang
menghancurkan Kesultanan Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat.
Pihak
Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat
terdapat komplotan-komplotan yang terdiri atas kaum cendekiawan, para
bangsawan, raja, sultan, tokoh masyarakat, orang-orang Tionghoa, dan
para pejabat. Sehingga mereka berinisiatif untuk menghancurkan mereka dengan
penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi antara September 1943 dan awal 1944. Tak hanya melakukan
penangkapan-penangkapan, Jepang juga
melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan penduduk Pontianak dan
sekitarnya. Pada 28 Juni 1944, Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad
beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, para
cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak.
Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan lain serta masyarakat di Kalimantan Barat.
Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor.
Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-mena Jepang inilah
yang menjadi salah satu faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.
Jenazah
Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif
Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu
karena tidak sedang berada di Pontianak. Saat
itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945.
Syarif
Hamid kembali ke Pontianak dan dinobatkan menjadi Sultan Pontianak
(1945-1978) pada 29 Oktober 1945 dengan gelar Sultan Syarif Hamid II,
atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II.
Setelah
peristiwa Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan Hamid II
inilah, Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat
bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu Sultan Hamid II
menjabat sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa
Kalimantan Barat) pada 1947-1950. Sultan Hamid II
adalah perancang Lambang Negara Indonesia. Selain sebagai Ketua Perhimpunan
Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg / BFO) pada tahun 1949, ia juga menjadi Menteri Negara Zonder
Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia
Serikat.
Pada
28 Oktober 1946, Pemerintah Sipil Hindia Belanda
sebagai Dewan Borneo Barat membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan
mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa
pada 12 Mei 1947. Daerah Istimewa Kalimantan Barat
meliputi monarki-monarki (swapraja) di Kalimantan Barat,
termasuk Kesultanan Pontianak. Saat itu Sultan Hamid II
ditujuk sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum 5 April 1950, Daerah Istimewa Kalimantan Barat
bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RIS). Daerahnya kemudian menjadi bagian
dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat pada 17 Agustus 1950, wilayah Kesultanan Pontianak menjadi
bagian Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di
keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung
selama 25 tahun. Namun pada 15 Januari 2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah
mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak.
Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29 Januari 2001 seorang bangsawan senior, Syarifah
Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan
Pontianak. Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak,
termasuk menghidupkan dan melestarikannya.
#
Sumber Wikipedia
============= AYOO JELAJAH INDONESIA ================
No comments:
Post a Comment